Aksi #gejayanmemanggil pada Sabtu (9/10/2021). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Jarum jam hampir menunjuukan pukul 15.00 WIB, ketika ratusan mahasiswa dan pelajar yang tergabung dala Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) Yogyakarta bergerak dari arah jalan Colombo menuju pertigaan Jalan Gejayan, Sabtu (9/10/2021).
“Assalamualaikum… (waalaikumsalam) Assalamualaikum… (waalaikumsalam), UGM datang bawa pasukan,”
Begitu yel-yel yang disuarakan dari barisan mahasiswa UGM sembari bertepuk tangan. Dengan dipandu seorang demonstran berbaju merah, para mahasiswa yang sebagian mengenakan jas almamater warna krem itu bergerak beriringan, dengan membentangkan spanduk besar bertuliskan “Mengabdi Kemanusiaan, bukan Menghamba Kekuasaan”. Ada juga yang menenteng poster bertuliskan oligarki dengan gambar sketsa wajah berseragam seperti petinggi polisi, namun dengan gambaran wajah yang tidak jelas dan tertutup masker. Alat peraga lain yang cukup mencolok adalah poster dengan desain seperti wayah dengan gambar gedung DPR RI dan bertuliskan “Udah pada budek apa?”, lengkap dengan gambar kaki dan tangan yang bisa digerakkan selayaknya wayang kulit.
Ada juga barisan anak-anak seusia pelajar SMP-SMA yang turut turun aksi sembari meneriakkan yel-yel dengan penuh suka cita. “Pak polisi.. pak polisi… jangan ikut aksi kami, tugasmu mengayomi…” pekik mereka berulang-ulang.
Sesampainya di pertigaan Gejayan, massa aksi langsung membentuk lingkaran besar memenuhi badan jalan dari arah barat Jalan Kolombo, serta utara dan selatan Jalan Gejayan.
Seorang demonstran perempuan berhijab hitam memanggil perwakilan dari mahasiswa UGM, Feri untuk menyampaikan orasi sebagai pembuka aksi #gejayanmemanggil kali ini.
“Lepas Almamater Kalian! Lepas Almamater kalian! Lepas almamater kalian! Kita, mahasiswa UGM layaknya mahasiswa-mahasiswa yang lain, layaknya rakyat,” seru pria dengan pakaian serba hitam saat berorasi di hadapan ratusan demonstran yang dijaga ketat oleh pihak kepolisian.
Menurutnya, mahasiswa yang hadir tidak eksklusif atas nama UGM Mahasiswa adalah hatinya rakyat. Kami datang ke sini tidak eksklusif atas nama UGM, dan bahkan cenderung mengkritik kebijakan-kebijakan UGM yang mereka anggap turut merugikan rakyat.
Dalam aksi kali ini, ia juga mengkritisi kebijakan Gubernur DIY yang mengeluarkan Pergub No 1 Tahun 2021 yang tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka.
“Artinya, hak demokrasi kita telah dirampas. kita tidak boleh demo di Malioboro, di kantor DPRD, di Keraton, di Kotabaru, dan tempat-tempat lainnya. Jangan-jangan Gejayan akan dirampas juga,” sesalnya.
Orasi disambung oleh mahasiswa dari perwakilan IMM AR Fahruddin yang menganggap pemerintah dan DPR tak lagi peduli dengan aspirasi rakyatnya. Hal itu terlihat salah satunya dengan pengesahan Omnibu Law Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu. Padahal ketika itu, gelombang penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk ARB yang menggelar aksi dengan skala besar di Yogyakarta.
“Sudah berkali-kali kita turun aksi. sudah berkali-kali kita turun ke jalanan untuk berorasi, tapi sampai hari ini. pemerintah seakan bisu dan tuli untuk menanggapi kemauan masyarakatnya sendiri,” ucapnya.
Aksi #gejayanmemanggil dengan seruan aksi “Selametanatkan Warga Yogya” ini sebagai bentuk penyikapan ARB atas setahun pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Jika di aksi-aksi #gejayanmemanggil sebelumnya mereka menyampaikan tujuh tuntutan, maka pada aksi kali ini, ARB menyerukan 11 tuntutan. Diantaranya, cabut Omnibus Law dan segala turunannya, cabut UU KPK, stop kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis, tolak komersialisasi pendidikan, dan tetapklan UMP DIY yang layak. (Rep-01)