12 Tahun Mou Helsinki: Implementasi UU PA tak sesuai Harapan

Diskusi, Kenduri, dan Aksi Surah Damai 12 Tahun MoU Helsinki, di Bale Gadeng Yogyakarta, Sabtu (12/8/2017) malam. (sutriyati/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang menandai perdamaian di Aceh pada 15 Agustus 2005 lalu, hampir memasuki usia 12 tahun. Namun, dalam rantang waktu tersebut, nota kesepakatan antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian dibakukan, melalui Undang-Undang No 11 Tahun 2016 tentang Pemerintah Aceh (UU PA), implementasinya dinilai belum sesuai harapan.

Bacaan Lainnya

Salah satu perumus UU PA, Nurzahni menganggap, perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM sebenarnya belum tuntas, karena masing-masing pihak ketika itu hanya mementingkan penandatanganan. Sedangkan mekanisme pasca penandatangan tidak dibicakan. Akibatnya, kewenangan yang seharusnya seimbang antara kedua belah pihak tidak terwujud.

“GAM tidak punya kewenangan kuat untuk mendominasi draft UU PA,” ungkap anggota DPR Aceh ini dalam Diskusi, Kenduri, dan Aksi Surah Damai 12 Tahun MoU Helsinki, di Bale Gadeng Yogyakarta, Sabtu (12/8/2017) malam.

Selama 12 tahun pasca perdamaian itu, ternyata beberapa pasal dalam UU PA tak bisa dijalankan karena tidak ada peraturan pelaksananya. Sebab, dari sembilan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang diperjuangkan agar segera disahkan, hingga kini belum 100 persen diterbitkan.

Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Fajran Zain, pada kesempatan kali ini juga menambahkan, KKR yang seharusnya menurut amanat terbentuk sejak 2007, tapi baru direalisasikan pada tahun 2017. Padahal menurutnya, KKR ini penting karena prosesnya membangun rekonsiliasi untuk melihat masa depan Aceh.

“KKR ini dasarnya Qanun bukan Undang-undang sehingga berpotensi memunculkan konflik di Aceh,” sesal Fajran.

Sementara anggota Komisi untuk orang Hilang (KontraS), Feri Kusuma menilai, kewenangan disentralisasi asimetris yang dimiliki Aceh membuka peluang untuk menentukan kebijakan-kebijakan untuk bumi rencong ini ke depan. Hanya saja persoalannya, MoU yang diterjemahkan dalam UU PA, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masih jauh dari fakta yang terjadi.

Nezar Patria dari Dewan Pers sekaligus peneliti tentang Aceh berpendapat bahwa MoU tersebut juga melahirkan partai politik lokal di Aceh sehingga pada Pemilu 2019 mendatang, keberadaan parpol lokal ini harus diselamatkan sebagai warisan politik yang bersejarah.

Berpijak pada berbagai persoalan itu, anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh, Nasir Jamil berdalih, UU PA dibuat dalam waktu yang sangat singkat sehingga belum bisa memuat semua MoU Helsinki.

“Pembahasan UU PA paling lambat Maret 2006 harus selesai, tapi Agustus 2006 baru selesai. Banyak hal yang tidak sesuai dengan MoU sehingga harus dievaluasi,” jelas anggota komisi III DPR RI ini.

Soleman B. Ponto, anggota Tim TNI dalam prosea perdamaian Aceh di Helsinki, dalam bukunya “TNI dan Perdamaian di Aceh: Catatan 880 Hari Pra dan Pasca-MoU Helsinki memaparkan, dalam nota kesepahaman, Aceh memiliki kewenangan di sektor publik, kecuali di bidang hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama, karena keenam hal tersebut menjadi kewenangannya pemerintah RI.

“Pemerintah RI harus fokus dalam pemenuhan dan menjaga wewenangnya dalam bidang tersebut,” tulisnya..

Perdamaian Aceh, lanjut Ponto, dicapai melalui perundingan selama 24 hari yang terbagi dalam enam putaran, dalam kurun waktu 27 Januari – 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia. (Ed-03)

SUTRIYATI

Pos terkait