Ilustrasi (beritasatu.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tanggal 25 April 2016 atau bertepatan dengan hari Senin ini, Indonesia memperingati Hari Otonomi Daerah (Otda) yang ke-20. Artinya, kebijakan Otonomi Daerah (Otda) telah diterapkan selama 20 tahun. Namun, Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Anang Zubaidy menilai, pemerintah pusat belum memiliki grand design soal pelaksanaan Otda.
“Pemerintah belum matang dalam merumuskan model yang ideal untuk implementasi Otda ini. Terbukti, dengan adanya tarik ulur kewenangan di daerah,” kata Anang kepada kabarkota.com, Senin (25/4/2016).
Dalam Undang-undang (UU) No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menurut Anang, otonomi di daerah sangat luas, khususnya di level Kabupaten/Kota. Kebijakan tersebut mengakibatkan lahirnya ‘raja-raja kecil’ di daerah. “Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD juga cenderung tidak harmonis karena Dewan bisa memakzulkan kepala daerah,” ungkapnya.
Kemudian pada UU No 32 Tahun 2004, kewenangan kepala daerah dikurangi dengan resentralisasi. Namun itu, lanjut Anang, juga tak mampu menyelesaikan masalah. Mengingat, status provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat pun tidak jelas.
“Pemilihan langsung kepala daerah yang dimulai pada saat itu juga menimbulkan hubungan dengan DPRD tidak bagus, karena kepala daerah cenderung tak terawasi. DPRD tak memiliki kewenangan apa-apa,” ujar Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII ini.
Lalu pada perubahan UU No 23 Tahun 2014, Pemda itu terdiri atas Kepala Daerah an DPRD. “Jadi DPRD itu juga bagian dari eksekutif di daerah,” imbuhnya.
Ia menambahkan, kini provinsi memiliki kewenangan melakukan review terhadap Kabupaten/Kota. Hanya saja, proses pengisian jabatan kepala daerahnya masih banyak yang bermasalah. Itu terlihat dari tiga kali perubahan UU Pilkada dalam dua tahun terakhir, munculnya persoalan terkait calon independen, serta netralitas PNS.
Terkait pemekaran wilayah, Anang berpendapat bahwa selama ini yang terjadi, pemekaran tidak didasarkan pada efektifitas pelayanan publik melainkan kepentingan elit politik yang umumnya tidak puas dengan hasil Pilkada. (Rep-03/Ed-03)