Ilustrasi: induk penyu betina yang diselamatkan di kawasan konservasi penyu pantai Samas Bantul DIY setelah diamputasi kaki depannya. Diperkirakan usia penyu ini sudah 50 tahun. (Sutriyati/kabarkota.com)
BANTUL (kabarkota.com) – Pada tahun 2016 ini, penetasan tukik penyu di pesisir selatan, khususnya sekitar Pantai Samas Bantul DIY diperkirakan menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pendiri Forum Konservasi Penyu Bantul (FKPB), Rujito menjelaskan, keberhasilan penetasan telur-telur penyu tergantung pada suhu dan cara pemindahan telur dari sarang alami ke sarang semi alami.
“Kalau suhunya stabil, 26 atau 27 hari itu menetas. Tetapi kadang ada yang turun ada yang tidak karena cuaca yang tidak menentu. Kalau masalah cuaca, saya baru mengalami tahun ini (2016), kalau cuacanya panas, terlalu panas. Kalau dingin, ya dingin sekali,” ungkap Rujito saat ditemui di pantai Samas, tepatnya dusun Ngepet, desa Srigading, kecamatan Sanden Bantul, DIY, Selasa (8/11/2016).
Menurutnya, akibat pengaruh cuaca tersebut, telur-telur penyu yang berhasil menetas hanya sekitar 80 – 97 persen. Itu pun kalau cara penetasannya benar. Termasuk, cara memegang telur untuk menjaga sel-sel di dalamnya. Mengingat, sifat telur kura-kura ini lentur, sehingga saat digenggam terlalu erat justru akan merusak sel-sel yang merupakan embrio tukik.
Selain itu, waktu pengambilan telur dari sarang alami untuk dipindahkan, setidaknya satu jam setelah dikeluarkan oleh induknya.
Di kawasan pesisir selatan Bantul, Rujito memperkirakan ada empat jenis penyu yang seringkali mendarat untuk bertelur. Keempatnya adalah penyu belimbing, penyu pipih, penyu tempayan, dan penyu sisik.
Dari berbagai jenis itu, kata Rujito, telur penyu Blimbing paling rentan gagal menetas dan jumlahnya telurnya relatif sedikit dibandingkan tiga jenis lainnya, meskipun ukuran induknya lebih dari 1 kwintal. Yakni, antara 60 – 80 butir dalam sekali bertelur. Sementara untuk penyu jenis yang masih muda usianya mampu mengeluarkan 40 – 50 butir telur, dan penyu dewasa, jumlahnya bisa mencapai 126 – 135 butir.
Ditambahkan Rujito, pemindahan telur hanya dilakukan pada sarang yang letaknya berdekatan dengan bibir pantai. Sedangkan untuk sarang yang jaraknya cukup jauh dari pantai tetap dibiarkan menetas di sarang alami.
“Pada tahun 2016 ini, kami mendeteksi ada sekitar tujuh sarang telur di sekitar pantai Samas, ” ujarnya. Sedangkan jumlah keseluruhan yang tersebar di sejumlah pantai mulai dari barat mercusuar pantai Baru hingga pantai Samas jumlahnya diperkirakan 21 sarang. Hanya saja, sebagian diselamatkan oleh warga di sekitar pantai masing-masing, karena keterbatasan dana yang dimiliki forum saat ini.
Pihaknya mengaku, pada tahun 2011 sempat mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah untuk konservasi penyu di pesisir pantai selatan Bantul sebesar Rp 5 juta. Namun, dana tersebut telah habis untuk uang penggantian bagi warga yang menemukan telur penyu. “Satu butirnya, kami ganti dengan Rp 2 ribu. Jadi bukan kami beli, hanya kami ganti,” tegas pria yang pernah meraih penghargaan Kalpataru pada tahun 2007 ini.
Lebih lanjut Rujito yang sebelumnya adalah pemburu telur penyu itu mengaku bangga karena telah ikut berkontribusi dalam rangka konservasi penyu, serta memberikan edukasi kepada masyarakat.
Sementara ditemui terpisah, Pendamping pembina konservasi penyu di Bantul, Agung Budiantoro juga menjelaskan bahwa suhu tidak hanya mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu, tetapi juga menentukan jenis kelamin tukik.
“Kalau suhunya tinggi, telur yang menetas umumnya menjadi tukik betina. Tapi kalau suhunya rendah, tukik biasanya berjenis kelamin jantan,” sebut Agung yang juga dosen di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini.
Meskipun anomali cuaca saat ini hanya berpengaruh pada penetasan telur, namun jika itu terjadi setiap tahun maka Agung khawatir, hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap populasi penyu. Terlebih, kemungkinan tukik yang bisa hidup hingga menjadi penyu dewasa hanya sekitar 2 persen dari total tukik yang dirilis ke laut, akibat serangan predator di air. (Rep-03/Ed-03)