Aksi AJI dan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta memperingati 27 tahun kematian Udin, di titik Nol km Yogyakarta, pada Rabu (16/8/2023). (dok. AJI Yogyakarta)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar aksi memperingati 27 tahun kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. AJI dan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta mempertanyakan kabar kelanjutan penanganan kasus ini kepada Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang baru, Irjen Pol Suwondo Nainggolan. Mengingat, hingga kini pengusutan kasus tersebut berhenti.
“Kapolda Baru, apa kabar kasus Udin? Telah 21 kapolda berganti, tetapi pelaku dan aktor intelektual di balik tewasnya Udin belum terungkap hingga hari ini,” ungkap Ketua AJI Yogyakarta, Januardi Husin di Nol Kilometer Yogyakarta, pada Rabu (16/08/2023).
Menurut Januardi, Kapolda DIY harus berani mengungkap kasus yang telah lama ditelantarkan tersebut. “Jika tidak diselesaikan, kasus ini akan menambah catatan “dark number”, kejahatan yang tidak diungkap oleh kepolisian,” anggapnya..
Pihaknya mengatakan, AJI Yogyakarta pernah menanyakan langsung penyelesaian kasus Udin kepada Kapolda Suwondo Nainggolan. Namun saat itu Kapolda mengatakan akan kembali menyelidiki kasus Udin, jika ada bukti baru. Padahal, jika ada kemauan dan keseriusan untuk mengungkap tuntas kasus ini, maka saksi-saksi yang diduga terlibat masih bisa diperiksa. Terlebih, Gubernur DIY juga pernah berjanji mengungkap kasus tersebut dan mengajak Polda DIY melakukan penyelidikan mulai dari nol.
Berdasarkan investigasi wartawan Bernas yang tergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk bahwa ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya. Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan, termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada pihak kepolisian. Namun, kepolisian tetap berpegang bahwa Iwik adalah pelakunya.
Tren Kasus Kekerasan Jurnalis
Sementara, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung menyebut, selain kasus Udin (1996), AJI Indonesia mencatat ada delapan jurnalis lain yang mati dibunuh karena berita. Delapan kasus di antaranya dikategorikan dark number. “Hanya satu kasus yang pelakunya tuntas diproses hukum. Delapan jurnalis yang dimaksud, yakni: Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), Muhammad Jamaluddin (2003), Ersa Siregar (2003), Herliyanto (2006), Ardiansyah Matrais Wibisono (2010), Anak Agung Prabangsa (2009) dan Alfred Mirulewan (2010).
AJI Indonesia juga mencatat sejak 2006 hingga 2022 terjadi 935 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tren serangan terhadap jurnalis ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2022 tercatat 61 kasus dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media dan 14 organisasi media. Jumlah kasus ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 43 kasus.
Jenis serangan yang dihadapi sebagian besar berupa serangan digital yakni 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), kekerasan verbal (10 kasus), kekerasan berbasis gender (3 kasus), penangkapan dan pelaporan pidana (5 kasus) serta penyensoran (8 kasus).
Dari sisi pelaku, sebanyak 24 kasus melibatkan aktor negara yang terdiri dari polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus) dan TNI (2 kasus). Sedangkan aktor nonnegara sebanyak 20 kasus yang melibatkan ormas (4 kasus), partai politik (1 kasus), perusahaan (6 kasus) dan warga (9 kasus). Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya.
Berdasarkan data tersebut, jumlah kasus serangan digital melonjak dibandingkan 2021 yang tercatat hanya 5 kasus. Lonjakan tersebut terjadi karena peristiwa peretasan terhadap alat kerja 37 pekerja media dan DDoS attack pada situs berita Narasi pada 24 hingga 29 September 2022. Kasus ini merupakan serangan digital terbesar yang dicatat AJI Indonesia dalam empat tahun terakhir.
Ada dua tren utama serangan digital selama 2022 yakni peretasan yang menyerang individu jurnalis atau pekerja media, dan serangan DDoS pada situs organisasi media. Dari data AJI Indonesia, terdapat 6 kasus peretasan dengan 43 jurnalis dan pekerja media yang menjadi korban. Peretasan itu menargetkan platform komunikasi Whatsapp, email, Facebook dan Instagram milik para korban.
Selain serangan digital, AJI Indonesia mencatat bagaimana kekerasan fisik terhadap jurnalis yang meliput di lapangan semakin mengkhawatirkan karena melibatkan aktor negara, utamanya anggota polisi.
Pasal defamasi atau pencemaran nama baik dalam UU ITE masih digunakan untuk menjerat jurnalis. Hal ini dialami oleh Muhammad Irvan, jurnalis Timurterkini.com yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara, pada 9 Mei 2022 dan divonis bersalah.
“Media massa punya peran penting menjaga prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Media massa bertanggung jawab menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga. Tugas jurnalis mengawasi jalannya pemerintahan,” ungkap Erick.
Kerja jurnalis dijamin dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999. Pasal 6 di antaranya juga berbunyi pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Siapapun yang menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik terancam pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta rupiah. (Ed-01)