AJI: Baru sedikit Jurnalis yang ikut Uji Kompetensi Wartawan

 

Pelatihan Penyelesaian Sengketa Pers untuk Aparat Penegak Hukum se DIY-Jateng, di Yogyakarta, Jumat (24/3/2017). (sutriyati/kabarkota.com)

Bacaan Lainnya

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pasca rezim Orde Baru (Orba), pertumbuhan media pers di Indonesia sangat pesat. Ketua Umhm Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono menyebutkan, jika pada masa Orba jumlah media cetak baru 289, pasca reformasi angkanya mencapai 1.129 media.

Hanya saja, pesatnya pertumbuhan media tersebut justru memunculkan permasalahan baru. Salah satunya adalah terkait munculnya media abal-abal, yang juga tak lepas dari kehadiran wartawan yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi sebagai jurnalis. Padahal, menurutnya, kompetensi wartawan menjadi tolok ukur utama profesi di industri media massa.

“Sekarang jumlah jurnalis di Indonesia itu sekitar 8 ribu orang, tapi yang sudah mengikuti uji kompertensi wartawan baru sekitar 6 ribu orang,” sebut Suwarjono dalam Pelatihan Penyelesaian Sengketa Pers untuk Aparat Penegak Hukum se DIY-Jateng, di Yogyakarta, Jumat (24/3/2017).

Selain itu, jumlah media online diperkirakan jumlahnya 40 ribu laman, sementara proses verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers baru 78 media nasional. Karenanya, menurut Suwarjono, AJI mendorong Dewan Pers untuk terus melakukan proses verifikasi media ini.

“Menurut kami, verifikasi yang penting adalah content. Jika memang isi beritanya memenuhi kaedah jurnalistik dan menaati kode etik, maka layak diberikan stempel terverifikasi,” ucapnya.

Meskipun, lanjut Suwarjono, stempel verifikasi juga tidak serta merta memberikan jaminan bahwa pers yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran kode etik, khususnya dalam konten pemberitaannya. “Tapi setidaknya, media yang terverifikasi itu lebih mudah untuk diawasi,” anggapnya.

Hal lain yang juga masih menjadi persoalan, kata Suwarjono, adalah ancaman kebebasan pers yang malah musuh besarnya bukan lagi Negara, melainkan pemilik media yang berperan sebagai pengontrolnya. Selain juga kelompok-kelompok masyarakat dan individu-individu yang menjadi penghambat kerja jurnalis.

Itu terbukti dari catatan AJI bahwa kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2016 meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2015, yang mayoritas pelakunya dari kelompok masyarakat dan aparat kepolisian.

Hilarius Engmerro dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta juga berharap, agar Dewan Pers perlu meningkatkan perannya, terutama dalam melakukan proses verifikasi media. Mengingat, sampai dengan saat ini, masih sangat banyak media yang tidak terdaftar di Dewan Pers.

“Profesi jurnalis menurut saya juga belum melakukan sinkronisasi, sementara banyak kejahatan yang terjadi di media online. Apa yang selama ini sudah dilakukan? Belum ada,” ujarnya.

Wahyu Suryo, salah satu peserta pelatihan beranggapan bahwa munculnya wartawan abal-abal sangat merugikan citra wartawan. Tapi, kata dia, itu juga tergantung bagaimana cara wartawan membangun kepercayaan dengan narasumber (narsum).

“Uji kompetensi wartawan itu penting sebagai bekal di lapangan, karena sekarang ada narsum yang menanyakan soal itu. Kami tinggal menunjukkan kartu itu,” jelas jurnalis RRI Yogyakarta ini. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait