Ilustrasi (dok. suara.com)
JAKARTA (kabarkota.com) – Protes hasil pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas pemenang pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 berujung pada karusuhan di Jakarta, pada 21 – 22 Mei 2019.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah memutuskan sejumlah kebijakan, demi alasan keamanan Negara. Salah satunya, pembatasan akses terhadap media sosial, khususnya fitur penyebaran video dan gambar, mulai 22 Mei 2019.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto berdalih, kebijakan tersebut merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan bersifat sementara, guna menghindari penyebaran berita bohong di masyarakat, terkait peristiwa kerusuhan di Ibukota.
Namun, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, langkah pemerintah tersebut tak sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
“Kami mendesak pemerintah segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial,” tegas
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, melalui siaran persnya, Kamis (23/5/2019).
Menurutnya, pemerintah semestinya menghormati hak publik untuk memperoleh informasi. Dengan pembatasan itu, maka pemerintah telah menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang benar.
“AJI mendorong pemerintah meminta penyelenggara media sosial untuk mencegah penyebarluasan hoaks, fitnah, hasut, dan ujaran kebencian secara efektif, melalui mekanisme yang transparan, sah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim.
Pihaknya juga menyerukan kepada semua pihak agar menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya, serta menolak segala macam tindakan provokasi dan segala bentuk ujaran kebencian, karena itu bisa memicu kekerasan lanjutan serta memantik perpecahan yang bisa membahayakan kepentingan umum dan demokrasi.
Sementara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) juga turut menyikapi situasi politik yang berdampak pada gangguan kondisivitas sosial tersebut.
Totok Yuliyanto selaku Ketua Badan Pengurus PBHI berharap, para elit politik yang bertarung dalam Pemilihan Umum 2019 agar menggunakan jalur dan mekanisme hukum dalam menyikapi hasil Pengumuman KPU, serta tidak memprovokasi pendukung untuk melakukan pelanggaran hukum dan berbuat vandalis yang dapat merugikan masyarakat luas.
“Elit politik harus menjadi preseden sekaligus patron bagi konstituennya untuk bersikap tindak sesuai prinsip negara hukum yang mengedepankan nilai demokrasi,” ucapnya.
Selain itu, aparat keamanan dari Kepolisian yang melakukan pengendalian massa semestinya juga tetap mengedepankan prinsip dan standar hak asasi manusia yang humanis dan persuasif sebagaimana dimandatkan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsp dan Standar HAM, serta Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa. Termasuk, tidak terpancing dan berbuat di luar hukum yang melanggar prinsip profesionalisme, dalam menindak massa yang telah melanggar hukum.
PBHI mengingatkan, dalam situasi seperti ini, seluruh pihak tetap bisa menjaga nilai-nilai hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, serta tidak menggunakan cara-cara kekerasan apalagi sampai terjadi pelanggaran HAM terhadap masyarakat luas akibat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(Ed-02)