Ketum AJI Indonesia, Suwarjono (kabarhukum.com)
JAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membantah telah menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), 9 Februari 2016. Bantahan tersebut disampaikan pasca munculnya pemberitaan di salah satu media massa nasional, pada 10 Februari lalu yang intinya menyebut bahwa HPN juga dihadiri AJI sebagai bagian dari organisasi wartawan tanah air.
Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono menegaskan, seluruh pengurus AJI Indonesia tidak hadir, termasuk pengurus AJI Kota seluruh Indonesia. Pasalnya, AJI menganggap, perayaan HPN yang jatuh pada tanggal 9 Februari tidak tepat karena lebih mengacu pada peringatan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Menurutnya, gagasan HPN muncul pada Kongres Ke-16 PWI di Padang, Desember 1978 silam yang ketika itu dipimpin oleh Harmoko.
Keputusan kongres, ungkap Suwarjono, mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan tanggal 9 Februari, hari lahir PWI sebagai HPN.
Kemudian, tahun 1984, Harmoko yang saat itu sudah menjadi Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 2/1984 yang menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan–wadah tunggal–di Indonesia.
Lalu tahun 1985, lahir Surat Keputusan Presiden Soeharto No 5/1985 yang mengesahkan 9 Februari sebagai HPN dan merujuk pada Kongres Wartawan Indonesia yang melahirkan PWI pada 9 Februari 1946.
“Sejak itu, HPN menjadi perayaan korporatisme negara Orde Baru terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan. HPN menjadi ritual rutin tahunan, sarana efektif untuk melakukan mobilisasi pers, menjadi ajang kumpul dan pesta para petinggi PWI dan media,” anggap Suwarjono melalui siaran pers yang diterima kabarkota.com, Jumat (12/2/2016).
Lebih lanjut pihaknya juga menyebut, ada prosesi baku setiap HPN, yakni menghadap presiden atau wakil presiden dan meminta mereka membuka acara seremoni, kemudian dalam acara puncaknya, ada pemberian penghargaan kepada pejabat publik, perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya.
“Pers, PWI dan HPN menjadi tiga serangkai yang benar-benar berada di bawah ketiak Orde Baru. Soeharto mengisi pembukaan HPN dengan pidato-pidato glorifikasi kekuasaannya,” ujarnya lagi.
AJI juga menyayangkan masih diteruskannya praktik HPN oleh presiden-presiden setelahnya, pasca reformasi bergulir. Padahal, AJI telah berulang kali menyatakan bahwa HPN merupakan pemborosan anggaran negara, sekaligus membuktikan pers tidak independen dari kekuasaan.
“Hampir menjadi cerita klise, usai HPN digelar, terkuak kasus-kasus
korupsi anggaran yang diselewengkan pejabat negara untuk perayaan ini. HPN justru menjadi tontonan tidak lucu rakyat yang melihat pajak yang
mereka bayar dihambur-hamburkan,” sesalnya.
Pihaknya berpendapat, kelahiran Medan Prijaji lebih penting untuk dirayakan oleh insan pers Indonesia dan publik secara umum. Meski pun diketahui Medan Prijaji bukan media pertama yang berbahasa
Melayu, namun media ini menjadi penanda munculnya pers nasional yang berani berjarak dari kekuasaan yang saat itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Medan Prijaji di sisi lain juga menjadi penanda cetusan patriotisme jurnalis untuk membela tanah airnya yang sedang terjajah. Kelahiran Medan Prijaji sangat layak dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan Pers Indonesia (HKPI).
“Untuk itu, kami mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut Keppres buatan Soeharto mengenai HPN. Sebagai gantinya, Presiden Jokowi menetapkan 1 Januari hari lahir Medan Prijaji sebagai Hari
Kemerdekaan Pers Indonesia,” pinta Suwarjono. (Rep-03/Ed-03)