Logo AJI (dok. aji)
JAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, pelayanan data publik di sejumlah Kementerian atau Lembaga belum optimal.
Penilaian tersebut berdasarkan hasil riset yang dilakukan AJI bersama IDEA, LBH Pers, dan IPC, dengan menggunakan metode the Freedom of Information Advocates Network (FOIAnet).
Salah satu tim peneliti dari AJI Kresna Mawa mengungkapkan, penelitian dilakukan dengan melakukan permintaan data pada 12 lembaga baik di pusat maupun daerah. Diantaranya, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, BPK, MK, KPK, DPR RI, Bawaslu, DPRD DKI Jakarta, Pengadilan Tinggi Jakarta, Dinas Kesehatan DIY, dan Dinas Pendidikan DIY.
Menurutnya, sebagian besar lembaga telah menyediakan informasi proses mendapatkan data publik di halaman website. Namun dari sisi kualitas layanan pemenuhan data masih rendah.
“Ada lembaga yang memiliki formulir permintaan data, tapi tidak ada petugas di tempat. Kami juga menemukan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) yang tidak merespon permintaan data yang diajukan. Tidak ada tindaklanjut,” ujar Kresna Mawa, dalam diskusi “Monitoring Akses Publik terhadap Informasi di Indonesia, di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Di antara 12 lembaga yang menjadi sampel riset, Kresna menambahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang memberikan layanan informasi cukup bagus. Dua lembaga tersebut mempublikasikan hasil keputusan MK atau hasil pemeriksaan BPK di website. Terdapat formulir layanan data, dan proses penyediaan data yang di diperlukan, hanya dalam waktu 1-3 hari melalui email.
Sedangkan di Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan DIY, lanjut Kresna, dua lembaga tersebut tidak memberikan informasi yang memadai prosedur permintaan data di website.
“Namun ketika didatangi secara beda waktu, kedua kantor dinas ini menyediakan formulir dan data yang diminta cukup mudah didapat,” ucapnya.
Kresna berpendapat bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak publik atas informasi. Hanya saja dalam praktiknya, pelaksanaan keterbukaan informasi publik belum maksimal, meskipun UU tersebut sudah berjalan 10 tahun.
Oleh karenanya, berdasar hasil riset tersebut, AJI merekomendasikan beberapa hal, diantaranya lembaga-lembaga publik wajib menyediakan informasi tentang prosedur mengakses informasi bagi publik di website, mendorong lembaga publik daerah untuk menerapkan UU Keterbukaan Informasi.
Menanggapi paparan hasil riset tersebut, Arif Adi Kuswardono selaku Komisioner Komisi Informasi Pusat, Bidang Sengketa Informasi mengungkapkan, secara kelembagaan, kepatuhan untuk membuat PPID, pada tahun 2018 mencapai 69,52 persen.
Pihaknya juga menyatakan, semua kementerian dan pemerintah provinsi sudah mempunyai PPID. Sedangkan Badan Usama Milik Negara (BUMN), dan dan partai politik tercatat tingkat kepatuhan membentuk PPID masih rendah, yaitu 9% untuk BUMN. Sedangkan partai politik tercatat hanya beberapa yang memiliki komitmen membentuk PPID di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra.
“Kita baru bicara angka, belum soal performance (kualitas layanan),” kata Arief.
Arief mengaku, guna mendorong peningkatan kualitas layanan informasi publik, pihaknya masih terkendala beberapa hal. Di antaranya, karena jabatan sebagai petugas PPID tidak masuk dalam sistem renumerasi aparatur sipil negara sehingga banyak yang menganggap menjadi PPID hanya kerja tambahan. ASN lebih fokus pada tugas-tugas kerja yang lain. S
Sedangkan lamanya waktu layanan dan proses sengketa perlu langkah terobosan-terobosan mengikuti kemajuan teknologi. “Kondisi kemajuan zaman dan teknologi mestinya (proses layanan yang lama) bisa dipangkas. Sidang sengketa bisa lebih cepat. Namun untuk mengupayakan hal ini perlu revisi UU dulu,” ujarnya.
Sementara Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas, Diani Sadia Wati memaparkan, akses informasi publik merupakan salah satu indikator dalam program Sustainable Development Goals 16.
“Capaian SDGs, terpenuhinya akses informasi publik adalah bagian dari pemenuhan aspek keadilan dalam SDGs,” kata Diani.
Untuk ini, pemerintah sedang menyiapkan laporan Voluntary National Review (VNR) yang akan dipresentasikan di Pertemuan Tingkat Tinggi di PBB, pada bulan Juli dan September 2019 mendatang.
Untuk menyusun laporan ini, Bappenas mengundang para pihak seperti masyarakat sipil, kementerian/lembaga maupun kelompok bisnis untuk memberikan masukan-masukan sampai akhir April ini.
“Prinsipnya no one left behind, atau tidak ada yang ditinggal, semua pihak dilibatkan,”ujar Diani.
Pihaknya juga melihat, rendahnya kualitas layanan informasi publik karena kurangnya sosialisasi UU Keterbukaan Informasi. Ia mengakui masih menemukan ASN tidak memahami klasifikasi data yang dikecualikan, termasuk pemerintah daerah. Misalnya, data anggaran dianggap rahasia, padahal sumber pendanaan dari rakyat.
“Perlu kampanye lebih gencar tentang pentingnya keterbukaan informasi dan perlu harmonisasi antarlembaga yang juga mendapatkan mandat mendorong keterbukaan infomasi publik yaitu Komisi Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Dalam Negeri,” anggapnya. (Ed-02)