Logo AJI (dok. fb AJI Indonesia)
JAKARTA (kabarkota.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak keterlibatan junta militer Myanmar dalam KTT ASEAN yang akan digelar di Jakarta, pada 24 April 2021 besok.
Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito menilai, selama ini, junta militer telah memberangus kebebasan pers, dan berekspresi warga sipil secara brutal, serta melakukan tindakan-tindakan yang mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan laporan terakhir dari Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik (https://aappb.org/), sejak 1 Februari 2021, kudeta militer di Myanmar telah mengakibatkan 739 orang meninggal dunia, 3.370 orang ditangkap, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi yang sebagian berakhir dengan dakwaan atau vonis hukum.
“Tidak ada ruang bagi pelanggar HAM terhadap jurnalis dan warga sipil,” kata Sasmito dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Jumat (23/4/2021).
Menurutnya, perlindungan terhadap jurnalis dan warga sipil Burma menjadi sangat penting, di tengah situasi Negara yang semakin genting. Oleh karena itu, pihaknya medesak agar Pemerintah RI dan ASEAN mengambil tindakan tegas terhadap Junta Militer agar segera menghentikan segala bentuk intimidasi, dan kekerasan, serta memberi perlindungan kepada jurnalis. Selain itu juga memenuhi hak-hak sipil atas akses internet dan informasi di Myanmar.
“ASEAN dan negara anggota lain, termasuk Indonesia tidak boleh lagi menutup mata terhadap semakin tingginya angka kekerasan di Myanmar,” tegasnya.
Pelanggaran HAM yang dilakukan Junta Militer, lanjut Sismito, tidak bisa dianggap sebagai urusan internal negara
setempat, melainkan harus menjadi kepentingan kawasan yang membutuhkan sikap proaktif seluruh negara anggota. Hal itu penting, guna mencegah dan mengingatkan Junta Militer terhadap potensi situasi yang makin memburuk di Myanmar dan ASEAN.
Terlebih, kata dia, di luar alasan pembatasan pandemi, jurnalis dari luar wilayah Myanmar juga mengalami
kesulitan mengakses informasi maupun pernyataan dari otoritas dan narasumber di Myanmar. Ditambah lagi, adanya
tekanan dan intimidasi fisik maupun non fisik terhadap wartawan. Berdasarkan data Eurasia Review hingga April 2021, sedikitnya ada 53 jurnalis yang ditangkap, dan dibawa ke meja hijau (data ), termasuk di antaranya jurnalis media asing dari Associated Press (AP) dan BBC yang tengah melaporkan kondisi di Myanmar.
“Komunikasi dengan jurnalis lokal di Myanmar juga terhambat karena adanya dugaan pembatasan akses internet yang dilakukan oleh Junta Militer,” sesalnya,
Sekjen AJI Indonesia, Ika Ningtyas berpendapat bahwa Myanmar merupakan negara anggota ASEAN, seperti halnya Indonesia, yang memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan dan kestabilan di kawasan. Hal tersebut juga telah disepakati AJI dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia atau TAC) tahun 1976, dan Deklarasi ASEAN.
“Kami mendesak Indonesia dan ASEAN secara aktif menekan Junta Militer Myanmar untuk
memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan pada jurnalis dalam meliput
perkembangan politik di Myanmar,” pintanya,
Pihaknya menganggap, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN memiliki peran penting dalam
menjaga keamanan dan kestabilan kawasan, sebagai tercantum dalam Mukadimah UUD
1945 sehingga harus bisa menjadi garda terdepan untuk menggalang suara ASEAN mendesak Junta Militer mengakhiri kekerasan.
“Kekerasan tersebut telah melukai prinsip-prinsip kemanusiaan serta mengancam demokrasi di kawasan ASEAN,” ucap Ika.
AJI juga menyerukan kepada organisasi-organisasi jurnalis dan masyakarat sipil di ASEAN agar bersama-sama melakukan langkah aktif merespon kondisi di Myanmar, bersolidaritas terhadap jurnalis dan warga sipil di Myanmar, serta secara proaktif menjaga demokrasi dan kestabilan politik di kawasan. (Rep-01)