Aksi Tak Biasa Aktifis Jogja Ora Didol di depan Kantor Balaikota Yogyakarta

Aksi aktifis Jogja Ora Didol, Dodok Putra Bangsa di depan kantor balaikota Yogyakarta, Rabu (9/1/2019). (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mencabut moratorium izin pembangunan hotel, meskipun terbatas untuk hotel bintang 4 dan 5, mengundang kekecewaan aktifis lingkungan asal kota Yogyakarta, dodok Putra Bangsa.

Bacaan Lainnya

Namun, Dodok punya cara yang tak biasa untuk memprotes kebijakan tersebut. Pada Rabu (9/1/2019), Dodok menggelar Aksi Ritual Tolak Bala Bumi Yogyakarta yang ia lakukan di depan kompleks Balaikota Yogyakarta.

Dalam aksinya, pria berambut gondrong ini menebarkan garam di depan tulisan Kantor Walikota Yogyakarta yang sudah ia ganti menjadi “Kantor Wali Hotel Yogyakarta”. Tebar garam dalam prosesi ritual tolak bala ini sebagai simbol pengusir energi negatif.

Menurutnya, ketika advokasi formal tidak lagi mendapatkan ruang, upaya lain yang bisa ditempuh adalah melalui pendekatan kultural dan spiritual. Harapannya, bisa berhasil mempengaruhi paradigma dan sikap pamong praja terhadap dampak risiko dari pembangunan yang mereka selenggarakan.

Ritual ruwatan, kata Dodok, menjadi pilihan untuk membersihkan diri dan menyalurkan energi positif ke jajaran pamong praja agar lahir kesadaran untuk mewujudkan kesejahteraan, tanpa mengabaikan keadilan bagi masyarakat dan kelestarian bagi lingkungan.

Mengingat, selama ini warga sudah melakukan protes melalui beragam jalur formal, baik kepada Pemkot Yogyakarta maupun dewan, tetapi tidak banyak mendapatkan tanggapan. Berbagai hasil kajian telah didiskusikan untuk membuka mata hati penguasa terhadap akibat ambisi mengejar pertumbuhan. Namun, pembangunan berisiko tetap berlanjut. Warga dan lingkungan dipaksa tetap menerima beragam dampaknya.

“Sebenarnya kalau walikota memiliki niatan baik, maka akan memperpanjang moratorium pada 2019 – 2025… Walikota Yogyakarta juga belum memberikan evaluasi apa hasil moratorium swjak 2014 – 2018,” kata Dodok, di sela-sela aksinya, Rabu (9/1/2019).

Padahal sebenarnya, ada cita-cita fisolofis yang harus selalu dipegang oleh penguasa Yogyakarta yang mereprentasikan pamong praja, yakni Memayu Hayuning Bawana. Tak hanya kesejahteraan yang diutamakan, tetapi juga keselarasan hidup dengan alam untuk kelestarian.

Sementara, laju pembangunan yang kini terjadi di Kota Yogyakarta justru bertolak belakang dengan cita-cita leluhur bumi Mataram tersebut. Ambisi mengejar kesejahteraan diutamakan melalui pembangunan, mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kelestarian. Laju pertumbuhan pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, jumlah kendaraan, dan sebagainya menjadi ukuran.

“Wilayah kota yang terbatas, dipaksa oleh para pamong praja untuk menampung beragam investasi secara berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Dampak sudah terasa beberapa tahun terakhir. Peningkatan gaya hidup konsumtif, kemacetan, polusi, kriminalitas, kelangkaan air, semakin tinggi dari tahun ke tahun,” sesalnya.

Disebutkan pencetus gerakan “Jogja ora Dodol” ini bahwa daya dukung lingkungan kota Yogyakarta sudah terbebani dengan pembangunan 88 hotel baru sejak 2014, serta pembangunan sejumlah apartemen sejak 2016.

Sementara, keadilan sosial dan kelestarian lingkungan terus saja diabaikan, sehingga bencana lingkungan menjadi ancaman serius, jika warga tak kembali mengingatkan para penguasa. (Ed-02)

Pos terkait