Antisipasi Gugatan Jepang, Kebijakan Minerba perlu Direvisi

SLEMAN (kabarkota.com) – Guna mengantisipasi kemungkinan Gugatan Jepang atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Indonesia dinilai merevisi tiga produk kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kebijakan perdagangan Internasional melalui World Trade Organization (WTO).

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Dosen Hukum Internasional UGM, Rangga Aditya Dachlan kepada wartawan, usai Diskusi dan Kajian Hukum "Menyoal Kedaulatan Indonesia dalam UU Minerba pada Peta Politik dan Ekonomi Internasional", di Fakultas Hukum UGM, Kamis (8/5).

Rangga menyebutkan, ketiga kebijakan yang perlu dirombak, antara lain Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba, Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Minerba, dan Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Sejak tahun 1994 ketika pertama kali bergabung dengan WTO, kata Rangga, Indonesia berkomitmen untuk turut menegakkan supremasi hukum Internasional. Sementara, sambung dia, Undang-undang Minerba yang dimiliki Indonesia, bersifat sebagai hukum nasional.

"Kebijakan WTO, negara tidak boleh membuat kuota untuk pembatasan eksport", jelas Rangga. Sedangkan dalam Undang-undang Minerba yang berlaku di Indonesia, justru memberlakukan pembatasan tersebut.

Itu, sambung Rangga, tersirat dari pasal di 95 dan 102 Undang-Undang Minerba.

Menurut Rangga, resiko terbesar yang akan dihadapi Indonesia sebagai 'hukuman' Internasional atas ketidak-patuhan pada komitmennya adalah pemutusan hubungan perdagangan dengan negara-negara lain, atau pun boikot atas ekspor minerba Indonesia.

Pakar Politik dan Kerjasama Internasional Fisipol UGM, Nanang Pamuji Mugasejati, yang juga turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut berpendapat, Indonesia semestinya memiliki banyak instrumen, yang tidak hanya di WTO sehingga Indonesia juga memiliki posisi tawar yang kuat di dunia Internasional.

"WTO janya salah satu front saja", tegas Nanang.

Selain itu, tambah dia, pemerintah juga harus menyatukan tujuan, antarkementrian maupun lembaga negara dan stakeholders terkait.

"Saat ini kan ESDM kerja sendiri, Menkeu kerja sendiri, Asosiasi pengusaha dan eksportir juga punya tujuan sendiri-sendiri", ujar Nanang.

Indonesia kemungkinan akan menghadapi tuntutan Jepang di WTO terkait keberatan larangan eksport bahan mentah mineral sebagaimana yang tertuang dalam UU Minerba. Wacana gugatan tersebut diduga karena selama ini Jepang mengimpor 44 persen biji nikel dari Indonesia. (jid/tri)

Pos terkait