ARDY tolak Hadiri Diskusi Publik soal Pergub Larangan Demo di Malioboro

Ilustrasi: ARDY saat mengirimkan Surat Pengaduan ke Komnas HAM terkait Pergub DIY No. 1 Tahun 2021, melalui Kantor Pos Besar Yogyakarta, pada 16 Februari 2021. (Dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menggelar Diskusi Publik terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) DIY) No. 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, pada Rabu (3/11/2021).

Bacaan Lainnya

Dalam kegiatan tersebut, Pemda mengundang sejumlah perwakilan stakeholders dan unsur masyarakat, termasuk didalamnya juru bicara Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY), Yogi Zul Fadhli. Tujuannya, untuk menjaring masukan dari publik guna perbaikan Pergub yang sebelumnya dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman RI perwakilan DIY.

Namun, ARDY memilih untuk tidak menghadiri undangan Sekretariat Daerah (Setda) DIY bernomor 180/21648 yang dilayangkan pada 2 November 2021 tersebut.

Yogi mengatakan, ada sejumlah alasan yang mendasari penolakan atas undangan tersebut. Pertama, surat undangan bertentangan dengan asas kepatuttan karena dikirim dalam waktu kurang dari 16 jam sebelum acara digelar. Terlebih, undangan yang sifatnya formal tersebut hanya disampaikan melalui pesan whatsapp.

Kedua, pihaknya juga menilai bahwa unsur peserta yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut kedudukannya bermasalah. Diantaranya, Komandan Korem 072/Pamungkas yang notabene tidak berkepentingan dengan urusan publik. Selain itu juga Ketua Lembaga Ombudsman DIY yang dalam Laporan Akhir Hasol Pemeriksaan (LAHP) ORI Prewakilan DIY, yang bersangkutan merupakan partisan gubernur DIY, dan menyimpulkan bahwa terbitnya Pergub tersebut tidak termasuk melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Alasan lainnya, sebut Yogi, Pergub tersebut menyasar lima kawasan yang dilarang untuk aksi demonstrasi, dan Kawasan Malioboro hanya salah satunya.

“Ternyata, unsur masyarakat yang diundang, kecuali ARDY, sebagian besar hanya komunitas di sekitar Malioboro. Gubernur tidak melibatkan elemen masyarakat yang berasal dari gerakan buruh, petani, perempuan, difabel, mahasiswa, dan lain-lain yang selama ini intensif menyuarakan aspirasinya di ruang-ruang publik,” kata Yogi dalam siaran pers, Rabu (3/11/2021).

Tri Wahyu KH, Anggota ARDY dari Indonesian Court Monitoring (ICM) Yogyakarta berpendapat bahwa undangan tersebut terbilang aneh karena gubernur tidak mengundang kampus ataupun akademisi, dan pusat studi HAM maupun lembaga-lembaga yang selama ini fokus terhadap isu-isu demokrasi di Yogyakarta. Padahal, mereka para pihak yang memiliki kompetensi terkait dengan substansi Pergub tersebut.

“LAHP ORI Perwakilan DIY sangat jelas menyebutkan bahwa saran tindakan korektif adalah meninjau kembali Pergub DIY Nomor 1 tahun 2021, bukan sekedar diskusi publik. Sementara acara yang dihelat oleh gubernur hari ini terkesan hanya ajang sosialisasi ,dan bisa jadi sekedar forum legitimasi semata,” anggap Wahyu.

Anggota ARDY dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani menambahkan, forum sosialisasi tersebut tidak sejalan dengan saran tindakan korektif dari ORI perwakilan DIY ke Gubernur sehingga pihaknya memilih menungu 30 hari setelah terbitnya LAHP agar gubernur taat, dengan meninjau ulang, dan segera mencabut Pergub tersebut.

Diskusi Publik Berlangsung Tertutup

Konferensi Pers usai Diskusi Publik terhadap Pergub DIY No 1 Tahun 2021, di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Rabu (3/11/2021). (dok. humas Pemda DIY)

Sementara berdasarkan informasi dari Humas Pemda DIY, Diskusi publik yang digelar mulai pukul 09.00 WIB itu digelar tertutup untuk media. Hanya saja, pihak Humas memfasilitasi pelaksanaan konferensi pers di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, setelah acara diskusi usai digelar.

Dalam keterangannya kepada Pers, Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi DI Yogyakarta, Sumadi mengklaim bahwa diskusi publik yang digelar untuk kedua kalinya tersebut merupakan bentuk tindak lanjut atas LAHP ORI Perwakilan DIY yang menyebut maladministrasi. Sebab, dalam pandangan Ombudsman yang dimaksud maladministasi dalam hal ini adalah tidak adanya keterlibatan aspirasi publik.

“Kemudian kami melibatkan mereka, dalam hal ini komunitas-komunitas yang berada di sekitar Malioboro,” ungkap Sumadi.

Sedangkan terkait kedudukan hukum Pergub DIY No. 1 Tahun 2021 itu, Sumadi menegaskan, masih tetap bisa berlaku.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Biro Hukum Sekda DIY, Adi Bayu Kristanto menambahkan, berdasarkan masukan dari forum diskusi publik, ada perubahan nomenklatur seperti, penyebutan Istana Negara Gedung Agung di dalam Pergub, akan diubah menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta. Peserta diskusi juga memberikan masukan terkait dengan radius lokasi yang dilarang untuk berdemonstrasi, dari sebelumnya berjarak 500 meter dari titik luar, menjadi 150 meter.

Ilustrasi: Aksi demonstrasi yang berakhir anarkis di gedung DPRD DIY yang terlettak di Kawasan Malioboro Yogyakarta, pada 8 Oktober 2020. (dok. kabarkota.com)

“Masukan-masukan ini menjadi bahan kajian kami denganKementerian hukum dan HAM sehingga Pergub nantinya lebih baik,” ucap Bayu.

Lebih lanjut, Bayu juga menyatakan bahwa sebagian besar peserta dari paguyuban Kawasan Malioboro yang hadir dalam diskusi menyatakan setuju terhadap penerapan Pergub No. 1 Tahun 2021 ini, sebab mereka tidak menginginkan demonstrasi yang pernah terjadi di Malioboro dan berujung anarkis pada 8 Oktober 2020 lalu akan terulang kembali. (Rep-01)

Pos terkait