Nova Suparmanto (kiri) bersama istri Wakil Bupati Bantul (kiri) menunjukkan produk kompor batik listrik “Astoetik” (dok. Istimewa)
BANTUL (kabarkota.com) – “Generasi muda di era milenial adalah generasi yang kreatif, potensinya besar, punya ide-ide unik yang luar biasa… Di usia muda, sebisa mungkin hasilkanlah karya yang positif dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat,”
Pesan itu terucap dari seorang teknopreneur asal Bantul, Nova Suparmanto yang telah mampu membuktikan diri sebagai pemuda berprestasi, dengan karyanya yang inovatif.
Kepekaannya melihat masalah yang dihadapi oleh para pengrajin batik, khususnya di Yogyakarta mendorong alumnus Fakultas Teknik UNY ini menciptakan satu inovasi yang membantu memecahkan persoalan. Di tengah mahal dan langkanya minyak tanah dan sulitnya mengatur suhu panas malam untuk membatik, Nova berhasil menciptakan kompor batik elektrik yang kemudian ia namai “Astoetik” atau Auto Electric Stover Batik, di tahun 2013.
Bukan hal yang mudah, karena butuh proses panjang untuk bisa sampai pada hasil produksi kompor yang siap pakai seperti sekarang.
“Pada tahun 2011-2012 itu kami mengunjungi beberapa sentra industri batik di Yogyakarta. Kami mengadakan diskusi dan dialog dengan para pembatik ketemulah masalah itu. Waktu itu kami datang sebagai mahasiswa yang ingin berkontribusi,” kata Nova kepada kabarkota.com, yang ditemui di Bengkel Dakwah Bantul, baru-baru ini.
Proses dari pematangan konsep hingga tercipta prototipe kompor batik berbahan bakar listrik tak kalah lama, karena membutuhkan waktu satu tahun, dengan melakukan ujicoba dan menerima berbagai masukan dari para penghrajin batik untuk menyempurnakan karyanya.
“Tahun 2013, prototipe siap pakai. Lalu akhir tahun 2013, kami mencoba menjualnya, respon masyarakat bagus… Mereka mulai menggunakan dan berdampak positif. Artinya, biaya operasional menjadi lebih murah, proses pengontrolan suhunya lebih gampang, dan lebih bersih karena tanpa asap,” jelas pria 29 tahun ini.
Dengan menawarkan varian kompor batik listrik berdaya 125 watt, 150 watt, dan 200 watt, hasil produksinya masih sebatas untuk kalangan pengrajin lokal di Bantul dan sekitarnya. Baru pada tahun 2015, melalui promosi online, pesanan datang dari berbagai daerah di tanah air hingga produksinya mencapai 2.000 – 3.000 unit per tahun, dengan harga kisaran Rp 220 ribu – Rp 1,2 juta per unit.
Buah manis dari “Astoetik ini yang akhirnya mengantar pemuda asal dusun Jeblog RT 02, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY ini meraih penghargaan Juara 1 Nasional Pemuda Pelopor Kategori Inovasi Teknologi Tahun 2016. Ia terpilih, karena terbukti inovasinya bisa memberikan manfaat, dan dampak positif bagi ekonomi dan sosial, melalui pemberdayaan masyarakat sekitar.
Bahkan, kompor elektrik yang kini juga merambah penggunaannya di dunia pendidikan, mampu mendorong generasi sekarang untuk belajar membatik, sejak usia dini. Padahal, dulunya membatik hanya didominasi oleh generasi tua.
Kesuksesan memproduksi Kompor batik “Astoetik” dan menyabet sejumlah penghargaan tak lantas membuat Nova puas. Pendiri Pusat Pengembangan Teknopreneurship Indonesia (PPTI) ini masih bermimpi untuk mewujudkan one stop batik services untuk memenuhi lebih banyak kebutuhan konsumennya.
Dalam waktu dekat, relawan Forum Edukasi Indonesia Membatik tersebut berencana meluncurkan produk baru, berupa printer floater Batik, yang memadukan tenaga komputer dan manusia untuk membuat pola batik.
“Pembuatan pola batiknya oleh komputer, tapi nyantingnya tetap dilakukan oleh pembatik,” ungkapnya. (sutriyati)