Konferensi pers Gempadewa, di kantor LBH Yogyakarta, Rabu (6/7/2022). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Konflik akibat penolakan rencana tambang batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) memasuki babak baru.
Konflik yang semula antara masyarakat dan pemerintah, kini juga terjadi konflik horizontal antarkelompok masyarakat pendukung dan penolak tambang.
Ketua Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa), Insin Sutrisno mengungkapkan, setelah ada proses pembayaran ganti rugi lahan bagi warga, kemudian muncul kelompok warga yang semula menolak pertambangan menjadi “pro bersyarat”.
“Kelompok ini terus meneror warga yag tidak setuju tambang,” kata Insin saat konferensi pers secara virtual Gempadewa di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, pada Rabu (6/7/2022).
Menurutnya, bentuk intimidasi yang dilakukan antara lain dengan menakut-nakuti warga yang menolak, jika tidak menyerahkan SPPT maka akan ditangkap polisi. Selain itu juga warga tidak akan mendapatkan ganti rugi apapun. Bahkan, warga yang menolak terancam akan diusir dari Desa Wadas.
“Kami warga yang menolak, tidak akan menjual tanah kepada siapapun dan berapapun harganya,” tegas Insin.
Hal senada juga disampaikan salah satu warga Wadas lainnya, Siswanto yang menyatakan bahwa Gempadewa tidak membutuhkan uang ganti rugi, karena sebenarnya, hasil bumi dari memanen durian, cengkeh, dan lain-lain jauh lebih besar dari nominal ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah.
“Kami tetap akan bertani,” ucapnya.
Terlebih, kata dia, rencana pengukuran tanah yang diisukan berkali-kali hingga kini belum terealisasi.
Pemuda dan Wadon Wadas Turut Bersuara
Suara penolakan tidak hanya datang dari para pemuda dan perempuan Wadas. Mereka bahkan menuding bahwa pemerintah turut andil dalam upaya memecah-belah warga Wadas hingga terjadi konflik horizontal.
“Sebenarnya masyrakat tidak ingin terpecah-belah, tetapi kondisinya sekarang pemerintah sengaja menggunakan cara-cara yang tidak patut untuk memecah belah kami,” sesal Anis Maqfiroh dari Wadon Wadas.
Pihaknya menganggap bahwa pembayaran uang ganti rugi kepada warga hingga ada sebagian warga yang awalnya menolak kemudian “pro bersyarat” merupaka upaya penggembosan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perjuangan Gempadewa.
Salah satu pemuda Wadas, Mukti menilai, upaya memecah-belah warga yang telah dilakukan tersebut sangat meresahkan karena warga tidak bisa fokus dalam melakukan aktivitas keseharian mereka.
“Harapannya,suara kami bisa didengar oleh Gubernur Jawa Tengah bahwa kami menginginkan kelangsungan hidup di Desa Wadas,” ucapnya.
Konflik Wadas dari “Kacamata” Pengamat
Sementara terpisah, Dosen sosiologi UGM, Najib Azca berpendapat bahwa warga Wadas yang menolak pertambangan karena mereka khawatir akan timbul dampak-dampak negatif, seperti rusaknya sumber air yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.
Guna mengatasi konflik tersebut, maka Najib menilai perlu adanya keterlibatan institusi keagamaan. Mengingat, sebagian besar warga Wadas merupakan warga Nahdliyin. Dalam hal ini, akan sangat bijak jika pemerintah melibatkan pimpinan-pimpinan keagamaan, seperti kyai atau pun tokoh setempat yang bisa diterima atau dihormati oleh berbagai pihak yang berkonflik untuk memfasilitasi proses dialog.
“Kalau mungkinkan kelembagaan Nahdliyin atau ulama yang dihormati oleh pemerintah maupun warga sehingga dia bisa membantu mencari jalan tengah dalam suasana yang terlanjur menimbulkan luka atau cidera sosial,” jelas Najib kepada kabarkota.com, baru-baru ini.
Harapannya, keterlibatan mereka bisa memulihkan sekaligus membantu menemukan formula terbaik untuk menyelesaikan masalah di Wadas. (Rep-01)