Babak Baru UIN: Senat UIN Yogya Bantah Menteri Agama

Ilustrasi (uin-suka.ac.id)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menilai, terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 68 Tahun 2015 telah memasung wewenang senat kaitannya dalam pemilihan rektor.

Bacaan Lainnya

Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Munir Mulkan mengatakan, peraturan tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) tentang Pendidikan Tinggi, sebagaimana disebut dalam hasil RDP Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama RI butir ke 5, pada 18 Januari 2016 lalu.

Dalam UU disebutkan bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis. Pendidikan Tinggi melaksanakan fungsi sebagai wadah pendidikan calon pemimpin bangsa. Selain itu,Pendidikan Tinggi juga memiliki otonomi pengelolaan, baik bidang akademik maupun bidang nonakademik. 

“Namun, dengan dipaksakannya pemilihan rektor berdasar PMA 68 tahun 2015, kewenangan seleksi dan pemilihan calon rektor diambil alih oleh Komisi Seleksi yang dibentuk oleh menteri. Senat universitas, institut, atau sekolah tinggi yang sebelumnya memiliki kewenangan,  kini  hanya dapat memberikan pertimbangan secara kualitatif,” ungkap Munir dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Senin (1/2/2016).

Ditambahkan Munir, dalam Keputusan Dirjen Nomor 7293 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penjaringan, Pemberian Pertimbangan, dan Penyeleksian Rektor/Ketua PTKIN juga menyebutkan bahwa dalam hal Ketua/Sekretaris berhalangan dan tidak dapat menyelenggarakan rapat pertimbangan kualitatif, Rektor/Ketua bersama anggota senat yang lain dapat menentukan pimpinan pengganti untuk melaksanakan rapat.

Karenanya, Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menilai, penerapan PMA 68 akan membonsai kebebasan dan otonomi kampus, terutama di kampus perguruan tinggi keagamaan tertua di Indonesia tersebut.  

“Rektor terpilih hanya akan berasal dari orang dekat menteri. Penerapan PMA 68 ini juga dikhawatirkan akan melahirkan makelar-makelar atau mafia-mafia rektor di masa depan,” ucapnya lagi.

Untuk itu, Senat meminta, agar  Menteri Agama tidak melanggar Undang-undang, dalam kaitannya dengan pemilihan Rektor ini.

“Kami meminta agar menteri agama tidak melanggar Undang-undang, juga agar tidak terjadi konflik di lingkungan UIN, IAIN, dan STAIN seluruh Indonesia,” pintanya. Mengingat, pelaksanaan PMA 68 dalam proses pemilihan Rektor UIN  Sunan Kalijaga Yogyakarta pun telah menciptakan kemelut.  

Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi Organisasi dan Tata Kelola UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iskandar Zulkarnain, yang menduga PMA 68 itu bertentangan dengan UU ASN No. 5 tahun 2014 dan Permenpan No.13 tahun 2014.

“Implikasi dari dugaan kuat tersebut, dikhawatirkan tunjangan Rektor dan Ketua STAIN tidak dibayarkan oleh menteri keuangan,’ ujar Iskandar Zulkarnain.

Sebelumnya, pada RDP Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Agama, serta dua kali rapat konsultatif yang dilakukan Senat UIN Sunan Kalijaga dengan ketua dan sekretaris senat  dari UIN dan IAIN lain, seperti Aceh, Riau, Jakarta, Bandung, Makassar, Surakarta, dan Banten, baru-baru ini, juga menghasilkan kesimpulan serupa. 

Dalam pertemuan konsultatif itu  muncul wacana, jika regulasi begitu rumit di Kemenag, patut dipertimbangkan kembali gagasan penggabungan perguruan tinggi keagamaan (Islam) ke Kementerian Ristek-Dikti.

Ketika itu, Saleh Partaonan Daulay selaku Ketua Komisi VIII DPR RI berpendapat, Pemilihan Rektor berdasar PMA 68 akan menimbulkan politisasi kampus. Menteri yang berasal dari parpol dikhawatirkan lebih memilih rektor yang sejalan dan berkontribusi membesarkan partainya.

Sayangnya, masukan dan saran dari Komisi VIII dan Rekomendasi Para Guru Besar UIN diabaikan oleh menteri agama. Ini terlihat dari tetap dilaksanakannya proses penjaringan rektor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mendasarkan pada PMA 68.  Dan diduga akan menyusul pula pemilihan di kampus-kampus lainnya yang pengelolaannya berada di bawah Kemenag. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait