Backpacker jadi Alternatif Berwisata

Diskusi tentang Pariwisata di Pusat Studi Pariwisata UGM, Kamis (24/3/2016). (Januardi/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com)- Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk berwisata, menjadikan backpacker tourism sebagai sebuah alternatif.

Bacaan Lainnya

Berwisata yang identik dengan kelas menengah ke atas, dapat pula dijangkau oleh para backpacker dengan preferensi budget yang tepat. Destinasi wisata pun lebih melirik ke area-area yang tidak mainstream dan masih sepi.

Pelaku backpacker tourism dan penulis buku, Nurdiyansah Dalidjo menjelaskan, berwisata ala backpacker mulai dikenal luas sejak adanya fenomena kaum Hippie, yakni ketika anak-anak muda di negara Barat mulai bepergian ke wilayah Asia untuk mencari sebuah kesenangan, melihat eksotisme wilayah yang dituju. Gerakan backpacker kemudian menjadi sebuah gerakan politik yang menentang modern tourism sebagai gaya berwisata kapitalistik.

“Backpacker itu selalu identik dengan kebebasan dan independen. Tidak mau diatur oleh siapapun. Ia kemudian menjadi alternatif untuk berwisata,” ujar Nurdiyansah dalam sebuah diskusi di Pusat Studi Pariwisata UGM, Kamis (24/3/2016).

Kendati demikian, kata Nurdiyansah, seiring berjalannya waktu, backpacker tourism mulai mendapat stigma di masyarakat. Masifnya gerakan backpacker membuat stigma negatif tidak mampu dibendung, seperti stigma pelit karena terlalu irit, berpenampilan tidak senonoh, hingga berperilaku negatif semisal seks bebas dan narkoba kerap melekat pada para backpacker.

Oleh sebab itu, menurut dia, perlu merekonstruksi ulang definisi backpacker agar kembali sebagai sebuah wisata alternatif yang bisa menandingi modern tourism, backpacker harus mengusung sebuah semangat mendukung potensi lokal.

“Backpacker itu harus mendukung ekonomi lokal, pelestarian budaya, penghormatan pada alam, serta mampu menghasilkan pengalaman positif kreatif,” kata penulis buku “Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan” itu.

Dana yang dikeluarkan dengan Berwisata ala Backpacker, menurutnya, dapat langsung terserap oleh masyarakat lokal. Ia mencontohkan, pemilihan tempat menginap di homestay dan menggunakan kendaraan lokal akan langsung berdampak pada perekonomian mikro.

Ageng Wijaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman menuturkan, backpacker merupakan pasar yang potensial, terutama bagi destinasi wisata pedesaan.

“Jumlah uang yang dibawa backpacker itu kan sedikit menurut mereka. Tapi cukup banyak untuk warga desa,” ucapnya.

Untuk itu, Ageng berpendapat, backpacker seiring dengan program desa wisata yang saat ini sedang digalakkan. Kesederhanaan backpacker akan lebih mudah untuk dilayani oleh penduduk di desa wisata.

“Kalau mass tourism itu sepertinya susah untuk datang ke desa wisata. Backpacker ini kan maunya bebas. Datang dan pergi sesukanya tanpa tergantung agen perjalanan. Itu bisa difasilitasi di desa wisata,” tambah Ageng. (Ed-03)

Kontributor: Januardi

Pos terkait