Ilustrasi (dok. kominfo)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 telah memasuki masa kampanye, yang dimulai sejak 23 September 2018 – 13 April 2019 mendatang.
Meski kampanye terbuka di dunia nyata belum terlihat ramai, namun di dunia maya khususnya media sosial, seperti facebook, twitter, dan instagram, justru gaungnya sudah “menggema” di mana-mana. Bahkan, “kegaduhannya” terjadi, jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU)) menetapkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres – Cawapres), Calon anggota Legislatif (Caleg), dan Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hanya saja, yang menjadi keprihatinan bersama adalah maraknya informasi maupun berita hoax, ujaran-ujaran kebencian (hate speech), dan provokasi-provokasi bermuatan SARA yang mengarah pada pihak-pihak tertentu.
Berdasarkan hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) terhadap 1.116 responden, pada 2017 menunjukkan, 44.3% atau hampir responden mengaku menerima hoax setiap hari, bahkan 17.2% menerima hoax lebih dari sekali dalam sehari. Sedangkan Jenis hoax yang disebar paling banyak mereka terkait sosial politik, termasuk Pilkada dan Pemerintahan (91.8%), dan hoax bermuatan SARA (88.6%). Selain itu, medsos menjadi media penyebaran berita-berita hoax paling banyak (92.3%) dibandingkan aplikasi chatting (62.8%), situs web (34.9%), TV (8.7%), media cetak (5%), email (3.1%), dan radio (1.2%).
Keprihatinan terhadap maraknya hoax dan ujaran-ujaran kebencian, serta provokasi-provokasi yang bermuatan SARA membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu menggelar Deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019 secara serentak pada 23 September 2018 lalu, dengan menekankan pada komitmen melawan hoax dan politisasi SARA, di samping anti politik uang.
Apa yang Dilakukan Parpol Peserta Pemilu untuk Tangkal Hoax?
Dalam komitmen bersama, Parpol sebagai peserta Pemilu juga punya tanggung-jawab untuk bersama-sama memerangi hoax dan politisasi SARA, khususnya selama masa kampanye berlangsung.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPD PDIP) DIY, Bambang Praswanto menyatakan, sejak awal, PDIP sudah melakukan perlawanan terhadap hoax, termasuk yang ditujukan kepada paslon Joko Widodo – Makruf Amin, dengan “menjawab”nya melalui informasi maupun berita yang berbasis data.
“Pokoknya dilawan, dengan dijawab (counter informasi/berita), ataupun tidak menyebarkan (hoax),” tegas Bambang, saat dihubungi kabarkota.com, Kamis (27/9/2018).
Sementara Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Berkarya (DPD PB) DIY, Luqman Hakim Hariri mengaku sepakat dengan aturan pemerintah yang mewajibkan pendaftaran akun medsos, sebagai monitoring berita hoax, termasuk ujaran-ujaran kebencian bermuatan SARA yang ditujukan untuk saling menjatuhkan antarkandidat dari parpol berbeda.
“Kami berprinsip bahwa hal-hal mengenai hoax ini adalah fitnah, sehingga kebenarannya diragukan,” anggap Hariri.
Sebagai Parpol baru bentukan keluarga Cendana dan pendukung paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, lanjut Hariri, Partai Berkarya juga banyak mendapatkan arahan untuk melawan hoax. MenurutnyaN para kader PB diminta untuk tidak saling menjelek-jelekkan pihak lain, apalagi sebagai bagian dari bangsa Indonesia, pada dasarnya semua adalah saudara.
Bisakah Mata Rantai Hoax Diputus?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kepala Unit Politik dan Demokrasi Yayasan Satunama, Kristina Viri berpendapat bahwa sangat tidak mudah untuk bisa memutus mata rantai hoax. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan menghimbau semua pihak untuk mudah menyebarkan informasi ataupun pemberitaan di media sosial, jika belum diverifikasi kebenarannya.
“Hoax menjadi viral karena sebagian besar dari netizen “langsung broadcast” tanpa mencek dan verifikasi dulu sumber beritanya,” anggap Viri. Padahal, lanjut Viri, jika ada berita yang diunggah di media sosial, seperti Facebook (FB), dan disinyalir itu hoax, sebenarnya ada mekanisme pelaporan ke FB sebagai spam.
Sementara menyangkut kampanye yang semestinya dilakukan oleh Parpol peserta Pemilu, Viri yang baru-baru ini sempat magang di The Greens (Partai Hijau) Australia Selatan, mencontohkan, partai di Negeri Kangguru tersebut membuat beberapa hal yang mendukung dan mengatur proses kampanye di sana.
Dari strategi kampanye, jelas Viri, mereka membuat satu strategi kampanye yang dipakai untuk seluruh kandidatnya dan membuat aturan tentang pesan-pesan apa saja yang boleh keluar dalam atribut kampanye. Selain itu, mereka juga membuat aturan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kandidat dalam masa kampanye.
“Semua materi kampanye dan pendanaan disupport oleh partai, kandidat tidak boleh membuat atribut kampanyw sendiri,” ungkapnya.
Di negara-negara maju seperti Australia, kata Viri, parpol menggunakan cara-cara yang “beradab” untuk memenangkan kontestasi. “Yang mereka perjuangkan adalah ideologi parpol,” imbuhnya.
Terlepas dari apa yang berlaku di Australia, Viri mengaku mengapresiasi kedua pasangan kandidat Presiden dan Wakil Presiden, Caleg, calon anggota DPD, dan parpol peserta Pemilu yang sudah bersedia mendeklarasikan Kampanye anti hoax dan anti-SARA di awal masa kampanye.
Namun belajar dari Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Sumatra Utara, sebut Viri, isu SARA masih “dipercaya” publik. Meskipun Bawaslu dan KPU sudah punya komitmen untuk siap blokir penyebaran hoax di medsos, tapi menurutnya itu saja tidak cukup.
“Perlu ada gerakan penyadaran publik agar tidak percaya Hoax, Isu Sara, juga politik uang. Deklarasi juga perlu dicek pelaksanaannya,” pintanya.
Gerakan Lawan Hoax juga Difatwakan oleh MUI
Seiring dengan maraknya Hoax, ujaran kebencian, dan politisasi isu SARA yang mengancam persatuan dan ketuan Bangsa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya juga telah menerbitkan Fatwa MUI No 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
Bermuamalah di sini maksudnya adalah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hablun minannaas (hubungan antar sesama
manusia) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.
Dalam ketentuan hukum di Fatwa tersebut, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk (a) Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan; (b) Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan; (c). Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup; (d) Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i; dan (e). Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Fatwa MUI yang ditetapkan pada 13 Mei 2017 itu juga menyebut bahwa memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
“Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya” (ketentuan hukum no 9). (sutriyati)