Foto: simomot.com
SLEMAN (kabarkota.com) – Meninggalnya Profesor Christophorus Soebakdi Soemanto atau Bakdi Soemanto pada pukul 3.45, Sabtu (11/10) dinihari, menyisakan rasa kehilangan. Tak hanya bagi keluarganya, namun rasa kehilangan juga dirasakan para seniman.
Seorang teatrawan, Azwar AN mengungkapkan rasa kehilangan kepada rekan seperjuangannya di bidang kebudayaan. Menurutnya, Bakdi Soemanto merupakan salah seorang tokoh pemerhati kebudayaan. Bakdi, ia melanjutkan, merupakan pemerhati kebudayaan yang tidak pandang bulu, baik muda atau tua. Bakdi memiliki anggapan bahwa kebudayaan akan lahir terus menerus.
"Sangat kehilangan. Beliau juga teman pada waktu mendirikan Bengkel Teater bersama WS Rendra," kata Azwar AN ketika ditemui di kediaman Bakdi Soemanto, Jalan Podang 2, Demangan Baru, Depok, Sleman, Sabtu (11/10).
Azwar mengenal Bakdi sebagai sosok yang tekun mengikuti latihan teater meskipun tak banyak gerak. Ia mengingat pada saat berlatih teater, Bakdi berujar jika teman-temannya belum bisa bermain. "Pas di teater, dia (Bakdi) awalnya Studi Grup Drama Jogja tahun 1958. Zaman lucu-lucunya kan itu," kata dia.
Tak hanya berteater, Bakdi menjadi salah seorang penulis naskah drama yang dikaguminya. "Naskah drama karyanya yang terjemahan 'Waiting Pogodo' itu bagus," kata salah satu murid WS Rendra ini.
Penulis sekaligus budayawan Iman Budi Santoso mengatakan bahwa sosok Bakdi Soemanto merupakan salah seorang yang nyaris tak ada sekat. Dalam hidupnya, ia melanjutkan, Bakdi selalu terbuka terhadap semua temannya.
Iman mengenal Bakdi pada tahun 1960-an saat terjadi situasi panas politik di Indonesia. Saat peristiwa 'panas, terjadi di Malioboro itulah, ia mulai berinteraksi dengan Bakdi.
Bakdi Soemanto juga merupakan seorang penulis. Menurut Budi, sebagai penulis, Bakdi merupakan penulis yang 'kaya', mulai dari esai, kritik, drama, puisi, hingga cerpen. "Hampir semua. Tulisan rutinnya yang ada akhir-akhir ini ya di kolom koran lokan itu kan," katanya.
Selain penulis, Bakdi juga merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, seperti di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata Dharma. Sementara, di Jawa Tengah dia juga pernah mengajar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
AHMAD MUSTAQIM