Ilustrasi (airport.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Penolakan terhadap rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, DIY memang bukanlah hal baru.
Adalah warga terdampak yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang secara konsisten terus menyuarakan penolakan mereka atas rencana pembangunan mega proyek itu, karena dianggap akan merampas lahan dan mata pencarian mereka sebagai petani yang sudah terbukti menghasilkan produk pangan. Sebagai contoh, lahan pertanian produktif di Desa Palihan, Desa Glagah, Desa Jangkaran, Desa Sindutan, dan Desa Kebon Rejo di Kecamatan Temon mampu menghasilkan ratusan ton buah-buahan, dan sayur mayur per hektarnya.
Tak hanya lahan pertanian yang menjadi alasan penolakan warga, tetapi juga pertimbangan potensi bencana tsunami yang bisa saja terjadi setiap saat, mengingat lokasinya berdekatan dengan pesisir pantai selatan.
Gerakan Solidaritas Tolak Bandara (Gestob) NYIA Kulon Progo yang didalamnya termasuk Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta khawatir jika pembangunan tersebut akan mempertinggi resiko kerawanan bencana tsunami di sana.
“Dari aspek tata ruang, di sana merupakan kawasan rawan bencana, sehingga rencana pembangunan bandara baru di Kulon Progo justru mengabaikan prinsip-prinsip rawan bencana,” kata Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera, di kantor LBH Yogyakarta, Kamis (26/1/2017).
Namun, benarkah kawasan yang akan dijadikan sebagai bandara NYIA itu beresiko besar memicu kerawanan bencana tsunami?
Kepala Badan Meteorologo, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, I Nyoman Sukanta menjelaskan bahwa pada dasarnya, semua pantai selatan wilayah DIY memang berpotensi tsunami. Sebab, pantainya berhadapan langsung dengan sumber-sumber gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami.
“Tingkat resikonya bisa dilihat apakah pantainya landai terhadap daratan, atau bentuk pantainya mengerucut atau daratannya merupakan dataran tinggi. Yang paling aman terhadap tsunami adalah daerah pantainya merupakan dataran tinggi, dan yang paling beresiko adalah pantainya bentuknya mengerucut” papar Nyoman saat dihubungi kabarkota.com.
Sementara untuk pantai Glagah dan pantai Congot yang notabene berdekatan dengan lokasi pembangunan bandara baru, menurut Nyoman termasuk pantai yang cenderung lurus.
Meski begitu, pihaknya menambahkan, untuk mengetahui secara jelas terkait tingkat keamanannya, maka ada sejumlah faktor yang perlu dilihat. Diantaranya, jarak bandara dari pantai, Ketinggian atau topografi lokasi bandara dari pantai, desain bandara yang dibuat, serta besarnya kekuatan gempa yang memicu tsunami. (Rep-03/Ed-03)