Jumpa pers Workshop tentang Dukungan Infrastruktur yang Handal untuk Proyek Strategis Nasional di DIY, di UC UGM, Selasa (29/8/2017). (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Tak dipungkiri bahwa lokasi pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo merupakan kawasan rawan bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami.
Hal tersebut sebagaimana dipaparkan oleh Kepala Pusat Seismologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jaya Murjaya, dalam Workshop tentang Dukungan Infrastruktur yang Handal untuk Proyek Strategis Nasional di DIY, di UC UGM, Selasa (29/8/2017).
Meski begitu, Jaya mengungkapkan, catatan sejarah kegempaan masih sangat sedikit, setidaknya masih sekitar 100 tahun terakhir. Sementara, gempa-gempa besar yang terjadi periodenya bisa ratusan tahun sekali. Selain itu, waktu akan terjadi gempa dan besaran magnitude-nya hingga kini juga tak bisa diprediksi dengan alat secanggih apapun.
Hanya saja, menurutnya, ancaman bencana alam tersebut bisa diantisipasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah. Misalnya, untuk gempa, pihaknya telah menghitung kemungkinan-kemungkinannya, dengan melakukan sejumlah penelitian, seperti yang menyangkut kualitas tanah.
“Itu akan diserahkan kepada sipil engineer untuk mendesain bangunan yang tahan gempa,” kata Jaya kepada wartawan.
Rahman Hidayat selaku Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menjelaskan, dengan memahami karakteristik ancaman tsunami, maka itu menjadi langkah awal dalam membangun strategi pengurangan resiko bencana.
Di samping itu, lanjut Rahman, perkembangan dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) melalui simulasi model, dapat merekonstrukai lokasi sumber gempa, propagasi gelombang, dan luas serta jangkauan landasan dalan rencana lokasi bandara.
“Pendekatan IPTEK juga dapat untuk melakukan kajian mitigasi teknis dan non-teknis,” imbuhnya.
Perekayasa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko menambahkan, mitigasi teknis yang bisa dilakukan untuk mengurangi potensi gelombang tsunami misalnya, adalah dengan gunung pasir, mangrove, dan cemara udang di sekitar pesisir pantai.
“Kami akan hitung seberapa jauh efektivitasnya,” kata Widjo.
Sementara Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto berpendapat bahwa upaya mitigasi yang efektif dan efisien bukan semata-mata bergantung pada teknologi, tetapi juga tak lepas dari perilaku manusianya.
“Intinya, kita harus menghitung resiko itu dulu sebelum melakukan antisipasipasinya,” tegas Eko. (Ed-03)
SUTRIYATI