Ilustrasi (liputan6.com)
YOGYAKRTA (kabarkota.com)- Banyaknya jumlah aduan mahasiswa tentang penggolongan Uang Kuliah Tunggal (UKT), membuat Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) di dua Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta menuntut perbaikan regulasi penentuan golongan dalam UKT.
DI Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) misalnya, jumlah aduan yang masuk sepanjang tahun 2015, mencapai 1.200 aduan. Dari angka tersebut, disaring 200 aduan yang dianggap memenuhi syarat untuk komplain ke pihak rektorat.
Menteri Kesejahteraan Mahasiswa BEM REMA UNY Syaiful Ardan mengatakan, tingginya jumlah aduan disebabkan masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui tentang sistem UKT.
“Sehingga pada saat input data diri, mereka tidak sadar bahwa data tersebut digunakan untuk menentukan jumlah biaya kuliah,” kata Syaiful, Jumat (18/2/2016).
Selain itu, sistem online yang sering trouble saat penginputan data diri, menjadi penyebab mahasiwa yang sejatinya kurang mampu termasuk ke dalam golongan mampu.
“Misalnya ada 26 item yang harus diisi, baru terisi lima dan tiba-tiba trouble. Sisa data yang harus diinput akan otomatis masuk golongan paling tinggi,” ujar Syaiful.
Oleh karena itu, Syaiful menginginkan perbaikan regulasi penetapan golongan UKT. Pihak rektorat juga diminta membuat SOP untuk merespon dengan baik jika ada komplain dari mahasiwa.
“Selama ini penentuan golongan UKT hanya berdasarkan input data besaran penghasilan orang tua mahasiwa. Belum ada usaha untuk mensurvei apakah pengisian data diri tersebut valid atau tidak,” ucapnya.
Selain di UNY, di Universitas Gadjah Mada pun mengalami hal serupa. Setiap memasuki waktu registrasi biaya kuliah mahasiwa, angka pengaduan cukup tinggi. Setiap tahunnya, tidak kurang dari 100 aduan yang ditampung BEM KM UGM.
“Tahun 2013 ada 108 aduan. Tahun 2014, yang masuk ke BEM KM ada 63, tapi itu belum ditambah dengan yang ada di BEM Fakultas,” kata Menteri Koordinator Kemahasiswaan BEM KM UGM Taufik Ismail, baru-baru ini.
Taufik yakin pada tahun 2014 angka aduan meningkat drastis, pasalnya pada tahun itu terjadi kenaikan UKT yang sangat mencolok, terutama di Fakultas Biologi dan Sekolah Vokasi.
“Di Fakultas Biologi, untuk golongan 3, yang sebelumnya Rp 2.650.000 (tahun 2013), menjadi Rp 6.500.000 (tahun 2014),” sebutnya.
Taufik menuturkan, tingginya angka aduan disebabkan perubahan situasi keuangan keluarga pada mahasiswa. Sementara penentuan jumlah UKT tidak memperhatikan dinamika ekonomi keluarga.
“Penentuan jumlah UKT tidak mempertimbangkan jumlah pengeluaran yang harus ditanggung orang tua mahasiwa. Belum lagi jika terjadi musibah. Otomatis akan mempengaruhi kondisi keuangan keluarga,” ujarnya.
Selain itu, sistem UKT dianggap memberatkan karena mahasiwa baru tidak pernah tahu berapa nominal UKT mereka, karena ditentukan setelah penginputan data diri.
“Dulu sebelum UKT, mahasiwa tidak membayar biaya kuliah sekaligus. SPP dibayar saat registrasi. Tapi uang operasional, seperti biaya SKS (Sistem Kredit Semester) biasa dibayar belakangan. Diberi waktu beberapa bulan,” tutur Taufik.
Akibat biaya kuliah yang tinggi dan harus dibayar sekaligus itu, pada tahun 2015 kemarin, lebih dari 800 mahasiwa UGM terlambat membayar. Beberapa diantaranya terpaksa mengambil cuti studi. (Ed-03)
Kontributor: Januardi