Diseminasi Riset IDEA: Analisis Pendapatan dari Sektor Pertambangan Minerba dan Skema Monitoring Pertambangan di DIY, di Hotel Cakra Kembang Yogyakarta, Rabu (30/12). (Sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Setiap pengusaha pertambangan yang telah mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Operasi Produksi berkewajiban menyetorkan berbagai bentuk bea pertambangan, seperti pajak pertambangan, land rent, royalti biaya pencadangan wilayah.
Namun, Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Pekerjaan Umum ESDM DIY, Edi Indrajaya mengungkapkan dari 50 perusahaan yang telah mengantongi IUP eksplorasi, banyak yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
"Banyak yang belum membayar biaya pencadangan wilayah yang nilainya sekitar Rp 5 juta per perusahaan," kata Edi dalam Diseminasi riset analisis Pendapatan dari Sektor Pertambangan Minerba di DIY, di Hotel Cakra Kembang Yogyakarta, Rabu (30/12).
Sayangnya, sesal Edi, pengawasan IUP menjadi ranahnya pemerintah pusat, sementara Pemda hanya berhak melakukan monitoring di bagian sumberdayanya saja.
Karenanya Edi berharap, pada tahun 2017 mendatang, kewenangan pengawasan IUP tersebut diserahkan ke daerah sehingga pihaknya bisa lebih optimal dalam melakukan pendampingan supaya usaha penambangan di DIY tertata dengan baik, dan Pemda mendapatkan pemasukan yang sepadan.
Tenti Novary Kurniawati dari IDEA Yogyakarta dalam pemaparan hasil risetnya menyebutkan, pada tahun 2014 lalu, jumlah penerimaan Pemkab Kulon Progo dari pertambangan minerba hampir mencapai Rp 688 Juta. Lalu pada tahun 2015 melonjak hingga mencapai lebih dari Rp 749 juta.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan penerimaan pajak pertambangan di Gunung Kidul yang justru menurun drastis, dari sekitar Rp 652 juta pada tahun 2014, menjadi Rp 360-an juta di tahun 2015 ini.
Sedangkan IUP Eksplorasi yang diterbitkan di Kulon Progo sebanyak 22 dari 77 pengajuan, dan Gunung Kidul 17 IUP dari 37 permohonan.
"Dari temuan kami, ada data yang belum sinkron antara DPPKA Dengan data ESDM," ujar Tenti.
Selain itu, pihaknya juga mensinyalir belum adanya dana jaminan reklamasi atas puluhan aktivitas pertambangan tersebut. "Monitoring dampak pertambangan yang semestinya didorong oleh pemerintah belum maksimal," sesalnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin menyatakan bahwa pihaknya menolak keras adanya usaha pertambangan karena lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan manfaat yang diterima masyarakat sekitar. Pihaknya mencontohkan, rencana proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo yang justru mengkriminalisasikan beberapa warga Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP) yang notabene juga menolak mega proyek tersebut.
"Kami menemukan banyaknya kejanggalan dalam proses kontrak karya tambang pasir besi di Kulon Progo," imbuhnya.
Selain itu, menurut Hamzal, dalam pembahasan Perda No 2/2010 tentang Tata Ruang DIY tidak ada perumusan pasal tentang pertambangan di Kulon Progo, namun ketika Perda diterbitkan justru menyebut bahwa Kulon Progo merupakan area pertambangan. (Rep-03/Ed-03)