JAKARTA (kabarkota.com) – Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengaku memiliki komitmen melakukan perlindungan anak di dunia maya, salah satunya dengan melakukan blacklist web-web bermasalah.
“Kami juga berkomitmen mempromosikan whitelist, situs-situs layak akses, terutama bagi anak-anak,” tegasnya saat memberikan pidato di Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik tentang Anak AJI-UNICEF 2016 di Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Data menunjukkan penetrasi internet di Indonesia saat ini masih berada pada angka 33 persen dari jumlah penduduk. Data terakhir yang dirilis We Are Social berdasarkan data BPS, pada awal tahun 2016, pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 88,1 juta dari 259,1 juta jiwa penduduk. Jumlah ini masih dibawah rata-rata penetrasi internet dunia yang mencapai 46 persen.
Meski demikian, tingkat rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet, Indonesia menempati posisi nomor enam setelah Brazil, Filipina, Afrika Selatan, Thailand dan Argentina, mencapai 3-5 jam per hari. Dari jumlah di atas, 79 juta pengakses internet mengaku aktif di media sosial. Dari jumlah itu sekitar 15 juta pengakses internet usia 12-17 tahun.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono jutsru mengkhawatirkan keamanan anak di dunia digital saat ini. Menurutnya beberapa kejahatan di dunia maya, muncul dari apa yg mereka posting.
Seperti pisau bermata dua. Jumlah digital native pada usia anak dan remaja ini di satu sisi mengembirakan karena, anak-anak Indonesia tidak asing dengan teknologi informasi. Tapi di sisi lain menjadi mengkhawatirkan karena pemahaman dan kemampuan anak-anak memproteksi diri dari dampak negatif dan kejahatan dunia maya masih rendah.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada 2011-2014 tercatat 1.022 anak menjadi korban kejahatan dunia online yaitu mencakup pornografi, prostitusi anak, objek rekaman CD porno, dan kekerasan seksual. Selain itu 24 persen dari jumlah anak-anak di atas mengaku memiliki materi pornografi berupa teks, gambar maupun video yang diakses melalui beragam alat seperti telepon genggam, kamputer, laptop, dan diberagam tempat yang menyediakan akses internet seperti rumah, sekolah, ruang publik dan warung internet.
Sekitar 90 persen anak mengaku terpapar pornografi sejak usia 11 tahun ketika mencari data online untuk mengerjakan tugas sekolah, mendapat kiriman dari teman atau orang asing yang dikenal di dunia maya. “Anak-anak muda ini rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan dari media sosial, seperti pelecehan seksual, perundungan (bullying), atau pelanggaran privasi,” jelas Ibu Gunilla. “Sehingga sangat penting bagi media untuk memonitor hak-hak anak ini,” kata Perwakilan UNICEF Gunilla Olsson di forum yang sama.
(rls/ed-02)