Ilustrasi: aksi Aliansi Rakyat bergerak (ARB) tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Tugu Yogyakarta. (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta menilai, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) pada 2 November 2020 itu masih bermasalah. Lantaran, tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan dalam rumusan.
Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana menganggap, sejak disahkan, bermunculan banyak versi draft UU Cipta Kerja, termasuk perbedaan jumlah halaman, serta sulit diakses publik.
Selain itu, kata dia, juga banyak terjadi perubahan substansi ketika telah disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020. Padahal seharusnya setelah UU disahkan, maka tidak ada bisa lagi ada perubahan substansi.
“Berbagai pasal dalam UU Cipta Kerja banyak yang tidak sinkron sehingga bertentangan dengan kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan,” sebut Allan dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Selasa (3/11/2020).
Allan memaparkan, Asas ketertiban dan kepastian hukum menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Sementara asas kejelasan rumusan menyangkut setiap materi
muatan UU harus memenuhi syarat teknis penyusunan undang-undang serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya
Untuk itu, PSHK FH UII menegaskan, UU Cipta Kerja harus batal demi hukum. Terlebih, dalam proses pembuatannya juga minim keterlibatan masyarakat. Hal tersebut bertentangan dengan peratauran perundang-undangan yang seharusnya melibatkan keterlibatan publik. (Ed-01)