Buruh Gendong, Potret Perempuan Tangguh di Tengah Bahaya Pandemi Covid-19

Siyem, buruh gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Usia senja tak menghalangi Siyem, perempuan asal Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menekuni pekerjaan sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Bahkan, di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), Nenek dua cucu masih tetap “ngajo” dari Kulon Progo ke Kota Yogyakarta setiap pagi demi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Padahal, di usianya yang menginjak 60 tahun ini, ia termasuk kelompok yang sangat rentan tertular virus Corona.

Minggu siang itu, Siyem mendapat panggilan dari salah satu penjual kain di pasar Beringharjo. Ia diminta datang ke lapak si penjual untuk mengantarkan barang ke lantai 2 toko Progo yang jaraknya sekitar 200 meter dari los si pemilik barang.

Dengan mengenakan kain lurik lusuh, Siyem yang ketika itu mengenakan kaos warna kuning putih serta kain jarit dirangkap kain berwarna biru tua mengendong empat tumpuk kain yang dibungkus plastik, dan satu bungkus plastik lainnya ia bawa sembari berjalan menelusuri pasar menuju toko tersebut. Sementara si pemilik barang mengikutinya di belakang.

Sesampainya di dalam toko, Siyem menaiki tangga untuk sampai ke lantai dua. Sekitar 15 menit kemudian, ia terlihat turun dari lantai dua melalui eskalator.

“Ini tadi saya diberi upah Rp 10 ribu,” ungkap Siyem kepada kabarkota.com, sembari berjalan menuju pasar Beringharjo lagi.

Perempuan asal Galur ini mengaku telah menjalani pekerjaan sebagai buruh gendong di pasar Beringharjo sejak dirinya masih muda, tepatnya sekitar tahun 1982.

Meski penghasilannya tak sebanding dengan tenaga yang harus ia keluarkan setiap hari, namun bagi Siyem, pekerjaan ini masih lebih baik ia jalani sebagai lahan untuk mencari nafkah. Terlebih sejak suaminya meninggal, ia menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Tak hanya bagi anak, tetapi juga cucunya.

Di masa pandemi seperti sekarang, Siyem mengaku pendapatannya menurun drastis, seiring adanya pembatasan jam operasional pasar, dan menurunnya jumlah pengunjung pasar.

“Kalau saat pasar ramai, saya paling banyak mendapatkan upah Rp 50 ribu,” ucapnya.

Itu pun, lanjut dia, sekitar Rp 20 ribu ia gunakan untuk ongkos perjalanan pulang pergi, dan sedikitnya Rp 5 ribu untuk makan. Sementara upah yang diberikan untuk sekali gendong itu rata-rata Rp 2 ribu – Rp 10 ribu saja.

Setiap pagi, mulai pukul 05.30 WIB, Siyem sudah standby di depan pintu masuk sisi timur Pasar Beringharjo. Kemudian sekitar pukul 09.00 WIB sampai siang, ia masuk ke pasar untuk menunggu orang-orang yang membutuhkan jasanya.

“Siang sekitar habis duhur itu saya pulang,” sambungnya.

Untuk menjaga kesehatannya, Siyem mengaku, dirinya mengikuti anjuran menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, sering cuci tangan, dan sebisa mungkin menjaga jarak aman.

Sementara terkait akses bantuan sosial, ia mengaku selama ini lebih banyak mendapatkan bantuan sosial berupa sembako, dan kebutuhan lainnya justru dari beberapa lembaga swasta. Sedangkan dari pemerintah justru belum pernah mendapatkan bantuan sama sekali.

Tak hanya Siyem yang setiap hari harus bergelut dengan pekerjaan angkat junjung beban berat demi sesuap nasi. Di Pasar Buah induk “Gemah Ripah” Gamping, Sleman, seorang perempuan asal Klaten, Jawa Tengah, Endah Widati juga menjalani pekerjaan buruh gendong sebagai mata pencahariannya.

Perempuan berambut cepak ini setiap hari juga “ngajo” dari Klaten ke Pasar Buah, dengan menumpang kendaraan umum.

“Untuk biaya transport itu saya habis sekitar Rp 30 ribu PP,” sebut Endah saat ditemui di kantor pengelola Pasar Buah Induk “Gemah Ripah” Gamping, Selasa (29/9/2020).

Ia mengaku, dalam sehari ia bisa mendapatkan upah sekitar Rp 100 ribu – Rp 150 ribu. Sementara biaya yang harus ia keluarkan untuk ongkos transportasi umum dan makan, sekitar Rp 50 ribu per hari.

“Jadi kalau sehari dapat Rp 100 ribu itu sebenarnya bagi saya masih pas-pasan,” tutur perempuan yang sudah bekerja sebagai buruh gendong sejak 1993 ini.

Dari hasil jerih payahnya tersebut, Endah mampu menghidupi suami dan anak cucunya. Termasuk menyekolahkan anaknya hingga lulus perguruan tinggi.

Di masa pandemi seperti sekarang, Endah mengaku pendapatannya juga mengalami penurunan. Selain itu, dirinya juga tak bisa setiap hari bekerja di pasar, karena pihak pengelola menerapkan shift untuk sekitar 600 buruh gendong yang ada di pasar tersebut.

Karenanya, ia terpaksa memutar otak untuk bisa tetap mendapatkan penghasilan, dengan berjualan makanan hasil olahannya yang ia titipkan di pasar sebelah.

Sosialisasi Biaya Sendiri

Manajer Koperasi “Gemah Ripah” yang juga pengelola Pasar buah induk tersebut, Bambang Rahardjo menjelaskan, pihaknya membagi 600an buruh gendong dalam empat kelompok yang bekerja pagi, siang, sore, dan malam hari. Baik untuk tenaga bongkar maupun tenaga untuk memuat barang dagangan.

“Sebelum pandemi, setiap harinya rata-rata ada 200 kendaraan pengangkut barang dagangan yang bongkar muat di pasar ini,” jelas pensiunan PNS di lingkungan Pemda DIY ini.

Namun sekarang, kata Bambang, jumlah kendaraan yang keluar masuk menurun drastis, yakni sekitar 40 kendaraan saja per hari.

Ditanya terkait upaya yang dilakukan pihak pasar untuk mensosialisasikan penerapan protokol kesehatan, Bambang mengklaim bahwa setiap hari pihaknya selalu menyampaikan imbauan untuk disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, melalui pengeras suara.

Selain itu, pihaknya juga melakukan deteksi suhu tubuh pengunjung, penyemprotan disinfektan secara rutin di area pasar seminggu sekali, serta operasi penggunaan masker dengan melibatkan Gugus Tugas Kecamatan Gamping, bersama aparat kepolisian setempat.

“Mereka yang tidak tertib itu kebanyakan anak-anak muda,” sesalnya.

Bambang juga menyampaikan bahwa upaya pencegahan yang ia lakukan selama ini murni dibiayai oleh pihak pasar. Tanpa bantuan dana dari pemerintah.

Begitu pun dengan bantuan sosial yang diberikan untuk para buruh gendong, menurutnya justru datang dari pihak-pihak di luar pemerintahan.

“Dari pemerintah harapan kami ada, tapi sampai sekarang tidak ada sama sekali,” tuturnya.

Salah satu pendamping buruh gendong dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta, Umi Asih berpendapat selama ini menang akses informasi para buruh gendong di pasar tradisional tentang Covid-19 itu masih sebatas informasi yang disiarkan melalui pengeras suara oleh pengelola pasar masing-masing.

“Setiap pojok dan pintu masuk pasar juga difasilitasi kran dan sabun cuci tangan. Sampai hari ini polisi patroli supaya setiap setiap orang menggunakan masker,” jelas Asih.

Selebihnya, sebut dia, sebagian dari mereka mendapatkan informasi tentang Covid-19 secara intens itu dari TV dan media sosial.

“Yasanti selalu menyampaikan pentingnya memutus penyebaran Covid-19, dengan cara menjaga jarak, bermasker, dan sering cuci tangan, serta berprilaku hidup sehat. Kami juga membagikan masker 5 kali di empat pasar,” paparnya.

Menyangkut bantuan, Asih membenarkan bahwa memang selama ini para perempuan buruh gendong di pasar Beringharjo, pasar Kranggan, pasar Giwangan, dan pasar buah Gamping sering mendapatkan bantuan dari pihak-pihak swasta, dan bukan dari pemerintah.

Tak Ada Bansos Khusus untuk Buruh Gendong

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih mengatakan, sejauh ini tidak ada alokasi anggaran bansos yang dikhususkan bagi para buruh gendong.

“Bansos khusus buruh gendong di Dinsos tidak ada,” tegas Endang.

Hanya saja, kata dia, kemungkinan mereka mendapatkan bansos dari pemerintah melalui sumber-sumber lain, semisal Kemensos, Pemkab, dan Kementerian Desa. Namun, bukan karena mereka bekerja sebagai buruh gendong, melainkan namanya masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik pemerintah pusat.

“Mungkin mereka masuk di bansos lainnya sehingga di dinsos provinsi tidak masuk daftar, karena penerima bansos tdk boleh dobel,” dalihnya. (Rep-01)

Pos terkait