Capim KPK dari Yogyakarta, Budhi Masturi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY, Budhi Masturi termasuk salah satu Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lolos seleksi administrasi.
Budhi mengaku, saat ini dirinya sedang fokus mempersiapkan ujian tertulis yang akan dilaksanakan pada 31 Juli 2024 mendatang.
Sebagai Capim KPK, Budhi berkomitmen, jika nanti dirinya terpilih sebagai Pimpinan KPK, maka pelayanan sektor pendidikan harus digarap dengan baik karena sangat strategis dalam rangka membentuk basis budaya antikorupsi di kalangan masyarakat Indonesia.
“Harapan saya, KPK memiki basis yang kuat di masyarakat, melalui skema-skema kolaborasi. Tidak hanya dalam bentuk sosialisasi, tetapi juga bagaimana masyarakat menjadi garda penting dalam proses pencegahan korupsi,” kata Budhi kepada kabarkota.com, pada Jumat (26/7/2024).
Sebab, menurutnya, secara garis besar Pekerjaan Rumah) KPK adalah menjadikan kerja penindakan dan pencegahan korupsi bisa memberi pesan kuat kepada benak publik bahwa independensi KPK tetap terjaga.
Di lain pihak, pegiat antikorupsi sekaligus Pendiri Pusat Kajian AntiKorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Zainal Arifin Mochtar berpendapat bahwa masa depan pemberantasan korupsi masih ada, meskipun saat ini independensi KPK dipertanyakan.
Zainal menyebut ada dua level yang bisa memengaruhi masa depan pemberantasan korupsi tersebut. Yakni, kemauan untuk memperbaiki KPK dan pengaruh faktor lain di luar KPK, seperti Ombudsman, untuk turut memperbaikinya.
Hanya saja, Zainal menganggap, KPK sulit dikembalikan sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang dulu dibanggakan oleh publik, karena persoalan independensi.
“Saya kira itu akan sulit karena independensinya sudah hilang,” tegasnya di UC UGM.
Menyinggung soal seleksi Capim KPK yang kini tengah berlangsung, Dosen Hukum Tata Negara UGM ini mengatakan, sistem pemilihan Capim KPK nyaris tertutup oleh peraturan, dan praktik-praktik yang dilakukan oleh DPR, pemerintah, serta Pansel.
“Pertama, Undang-undangnya sudah jelas. Misalnya syarat usia minimal 50 tahun. Itu juga kami protes, mengapa usianya harus makin tua?” sesalnya.
Sedangkan terkait dengan praktik yang dilakukan oleh DPR, lanjut Zainal, biasanya DPR mengukur kelayakan Capim KPK bukan berdasarkan kapasitas, melainkan dari kedekatan.
“Selain itu, negara juga sering terjebak bahwa komisioner KPK harus ada perwakilan dari kepolisian dan kejaksaan,” tegasnya.
Oleh karenanya, Zainal mengaku pesimis, capim KPK nantinya bisa membawa perubahan yang signifikan terhadap perbaikan lembaga anti rasuah tersebut. Terlebih, Pansel Capim KPK yang terbentuk juga tidak terhitung istimewa.
Hal senada juga disampaikan Kepala Divisi Pengaduan Masyarakat dan Monitoring Peradilan Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba yang mengaku tak yakin jika proses seleksi capim KPK berjalan secara objektif. Mengingat, Pansel Capim KPK lebih didominasi oleh unsur dari pemerintah. Meskipun, ada satu dari unsur LSM yakni Transparency International Indonesia (TII).
Namun begitu, Bahar berharap Capim KPK yang terpilih nantinya memahami soal hukum korupsi, karena persoalan korupsi itu kompleks, seperti persoalan pendidikan atau pun pungli saja.
Oleh karenanya, JCW mengajak publik untuk turut melakukan penelusuran rekam jejak Capim KPK, khususnya dari Yogyakarta.
Bahar menyampaikan bahwa masyarakat Yogyakarta dapat berpartisipasi dalam melakukan penelusuran rekam jejak baik positif maupun negatif terhadap capim KPK berasal dari Yogyakarta, melalui pesan WA ke 0821 3832 0677.
Bahar berharap, informasi maupun data-data yang disampaikan masyarakat Yogyakarta nantinya dapat menjadi pertimbangan bagi Pansel capim KPK agar orang-orang yang lolos ke tahap selanjutnya adalah orang-orang yang memiliki integritas, dan paham soal hukum korupsi, serta benar-benar memiliki komitmen pemberantasan korupsi. (Rep-01)