Catatan Akhir Tahun 2015 (3): Penegakan Hukum dan HAM era Jokowi masih Rapor Merah

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Masih ingat kontroversi hakim Sarpin Rizaldi yang melaporkan Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki dan komisioner KY, Taufiqurrahman Sahuri ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik atas dirinya yang berujung pada penetapan sebagai tersangka terhadap pimpinan KY tersebut?

Atau kasus perseteruan antara Polri dan KPK yang berakibat pada penonaktifan Ketua KPK, Abraham Samad, dan komisioner KPK, Bambang Widjojanto sebagai “serangan balik” atas penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka oleh lembaga penegakan hukum independen tersebut?

Dua kasus tersebut adalah bagian dari hiruk pikuk kasus penegakan hukum di tanah air sepanjang tahun 2015.

Begitu pun dengan kasus intoleransi yang terjadi di Tolikara, Papua saat moment idul fitri serta beberapa kasus yang sarat dengan nuansa SARA tersebut juga menambah panjang daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tahun 2015 yang akan segera berakhir.

Karenanya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin alias Didin menilai, penegakan hukum dan HAM di era Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) masih belum menunjukkan progres yang positif di mata publik. Pihaknya justru menganggap, upaya yang dilakukan pemerintah di rezim sekarang justru terkesan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.

“Catatan buruk bagi rezim Jokowi sehingga rapor Jokowi 1 tahun terkait penegakan hukum tahun 2015 ini masih merah,” kata Didin saat ditemui kabarkota.com di kantor LBH Yogyakarta, baru-baru ini. (Baca juga: Catatan Akhir Tahun 2015 (1): Penghambat Kinerja Jokowi justru PDIP?)

Pihaknya menduga, salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya komitmen Jokowi untuk memperkuat institusi lembaga negara independen, seperti KPK dan KY itu tidak lepas dari adanya koalisi politik yang bergabung di pemerintahan sehingga Presiden tidak bisa mengambil kebijakan secara leluasa.

Pun dari sisi HAM, lanjutnya, ada banyak permasalahan yang menyangkut tanggung jawab Negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya. Bahkan, dalam beberapa kasus, Negara malah terkesan melakukan pembiaran di masyarakat.

“Contohnya SKB 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah yang menurut kami sangat diskriminatif bagi kelompok minoritas,” sesalnya.

Padahal, selama ini Indonesia telah banyak meratifikasi komponan internasional tentang HAM yang semestinya disinkronkan ke dalam Undang-Undang sehingga kebijakannya bisa lebih memberikan perlindungan.

Didin juga berharap, adanya reshuffle kabinet yang berbasis pada kinerja dan integritas para menteri dan calon penggantinya, dan tidak sekedar formalitas sebagaimana yang terjadi pada perombakan kabinet jilid I.

Menurutnya, Kementerian Hukum dan Ham menjadi salah satu yang perlu dievaluasi kinerjanya karena belum mampu menunjukkan rencana aksi HAM di Indonesia. (Rep-03/Ed-03) .

Pos terkait