Catatan Akhir Tahun 2019 LBH Yogya: Investasi Subur, Warga Tergusur

Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2019 LBH Yogyakarta, di kantornya, Kamis (26/12/2019). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat, Negara menglorifikasi (sangat memuja) pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang kencerungannya di beberapa Negara justru tak sebanding dengan kesejahteraan untuk warga masyarakat.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, saat Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2019 LBH Yogyakarta, di kantornya, Kamis (26/12/2019).

Menurut Yogi, glorifikasi pertumbuhan ekonomi itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2014 yang menguatkan keberpihakan Negara terhadap pasar.

Sayangnya, lanjut Yogi, kebijakan ekonomi yang diambil destruktif yang dilegitimasi dengan hukum yang represif.

“Kebijakan ekonomi yang destruktif itu masa bodoh dengan dampaknya terhadap lingkungan hidup, minim partisipasi warga, dan merampas hak asasi warga,” jelas Yogi.

Dalam RPJMN itu, lanjut Yogi, pariwisata menjadi salah satu prioritas pembangunan yang mendorong percepatan pembangunan infrastruktur termasuk di daerah. Dampaknya, investasi subur, tapi warga digusur.

“Membaca problem di daerah itu tidak bisa dilepaskan dari konteks nasional,” ucapnya.

Pihaknya mencontohkan, pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA) yang digadang-gadang bisa mendukung pengembangan wisata Candi Borobudur dan sekitarnya. Pembangunan YIA yang menggusur lahan pertanian produktif, dan pemukiman sebagian warga di wilayah Temon, Kulon Progo, DIY dilegitimasi dengan Peraturan Daerah (Perda) DIY tentang RTRW. Padahal dalam Perda RTRW sebelumnya tak muncul rencana pembangunan mega proyek nasional tersebut.

Ancaman bencana alam juga menjadi bayang-bayang yang tak bisa dihindari, karena lokasi pembangunan bandara baru tersebut berada di kawasan rawan bencana gempa bumi, dan tsunami.

Tak hanya di DIY, Jawa Tengah juga ada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap yang berdampak buruk bagi warga masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Selain itu juga pembangunan Bendungan Bener di Purworejo.

Salah satu warga Cilacap terdampak pembangunan PLTU, Sadinem mengungkapkan, akibat proyek tersebut, warga mengalami gangguan kesehatan. Tak hanya itu, secara sosial, problem juga muncul ketika antarwarga tumbuh rasa saling curiga.

“Ada sebagian warga yang akhirnya menyerah dengan menjual tanahnya,” ucap Sadinem.

Sedangkan Mukti merupakan salah seorang warga Wadas yang terdampak pembangunan Bendungan Bener yang digadang-gadang menjadi bendungan tertinggi di Asia.

Mukti mengaku, selama ini warga tak pernah dilibatkan, namun tiba-tiba izin lingkungan atas pembangunan proyek tersebut sudah terbit.

Sementara Ketua Forum Perguruan Tinggi Penanggulangan Bencana, Eko Teguh Paripurna berpandangan bahwa sebenarnya, pembangunan berkelanjutan yang dirancang dalam MDGs tidak akan tercapai, jika ada bencana yang terjadi.

Eko menyebut, semua penyimpangan pembangunan itu adalah korupsi, sebab pada dasarnya, semua ilmu pengetahuan bisa mengelola itu. Munculnya resiko-resiko bencana akibat pembangunan itu karena pengelolannya seharusnya tak dilakukan di situ.

“Hampir semua pembangunan beresiko, pasti tidak partisipatif,” sebutnya.

Eko Prasetyo dari Social Movement Institute (SMI) menganggap, saat ini, kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis lingkungan semakin meningkat, sehingga memunculkan ketakutan masyarakat yang melawan untuk berekspresi karena ancaman kriminalisasi. Padahal, semangat perlawanan terhadap ketidakadilan itu harus terus dinyalakan.

“Perjuangan itu bukan tentang menang dan kalah, tapi bagaimana rasa untuk melawan atau terlibat untuk.sesuatu yang tak adil itu,” tegasnya. (Rep-01)

Pos terkait