Ilustrasi: Kedatangan dr. Rica Tri Handayani beserta rombongan di Mapolda DIY, saat dipulangkan dari Kalbar. (liputan6.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Masih ingat dr. Rica Tri Handayani, korban Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang sempat dibawa ‘hijrah’ ke Kalimantan Barat, tepatnya di kamp Mempawah, pada akhir Desember 2015 lalu?
Dalam kesaksiannya di persidangan dengan terdakwa mantan pengurus Gafatar Wilayah Kulon Progo, Sigit Wibowo, di Pengadilan Negeri Sleman, Rabu (20/7/2016), Isri dr. Aditya Akbar ini mengungkapkan nasibnya yang “ngenes” (menyedihkan) selama berada di kamp Mempawah.
Rica awalnya dibawa ke Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) melalui Yogyakarta, oleh Eko dan Feni yang juga masih ada hubungan famili dengannya. Ia mengaku sempat tinggal di Mempawah beberapa hari sebelum akhirnya dipulangkan melalui Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (Kalteng) karena telah dijemput jajaran Polda DIY.
Selama berada di kamp, kata Rica, dirinya tinggal di sebuah rumah kontrakan mirip ruko yang terdiri atas empat kamar dan dihuni oleh sekitar empat Keluarga. Rica yang juga membawa bayi berusia lima bulan waktu itu merasa tak nyaman karena harus tinggal sekamar dengan keluarga Eko-Feni yang merupakan suami istri. Terlebih, ketika itu Ria masih dalam masa menyusui.
“Imunisasi anak saya jadi telat, kesulitan mendapatkan makanan, dan anak sempat rewel karena batuk pilek,” kenang dokter cantik ini. Bahkan ia hanya diberi makan nasi jagung yang dicampur dengan sayur sehigga asupan gizinya kurang untuk ukuran ibu menyusui.
“Saya memang pernah diminta menurunkan level hidup,” ujar perempuan asal Lampung ini
Namun, menurutnya, apa yang ia alami di kamp tersebut tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. “Saya pikir kan mereka orang-orang beriman dan penuh kasih sayang, seperti yang saya dapatkan di sini (rumah sendiri),” sesal Rica.
Tak hanya itu, Rica juga dipaksa untuk tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat mendapatkan pesan-pesan dan kontak dari keluarga yang disampaikan oleh Eko.
“Saya disuruh mengabarkan bahwa saya baik-baik saja, pergi dengan kemauan sendiri, serta diminta mencabut laporan,” ungkap Rica yang mengaku tertekan ketika itu.
Untuk membeli tiket pesawat menuju Pontianak yang diduga difasilitasi oleh terdakwa, Rica diminta mentransfer uang ke Eko, sebesar Rp 2 juta. Selanjutnya, ketika dalam perjalanan dari Mempawah menuju Pangkalan Bun, Rica juga meminta tolong kepada Eko agar mengambilkan uang melalui ATM-nya sebesar Rp 5 juta yang ternyata juga tak diserahkan kepadanya hingga kini.
Lebih lanjut Rica mengaku baru mengenal terdakwa saat berada di Mempawah karena dikenalkan oleh Eko dan Feni bahwa Sigit sebagai penanggung-jawabnya di sana.
“Saya masih ada kebingungan, katanya mencari ridha Allah tapi kok akhirnya dipulangkan? Mencari ridha Allah itu kan sesuatu yang damai, tapi kok yang terjadi malah konflik dan banyak yang menggunjingkan?” Kata Rica.
Dalam persidangan kali ini, selain dr. Rica, tiga saksi lain yakni dr. Aditya Akbar yang merupakan suami Rica, Cicih Wahyu Adiningsih dan Sugiyanti yang juga saudara Rica di Yogyakarta. (Rep-03/Ed-03)