Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com)- Koresponden Majalah Tempo di Jayapura, Cunding Levi mengaku sangat kecewa dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan perusahan kepada dirinya. Cunding merasa, proses PHK sama sekali tidak mempertimbangkan kinerja dirinya yang sudah 15 tahun menjadi koresponden Tempo.
“Saya sebetulnya tidak masalah dipecat. Asal dengan alasan yang jelas. Atau minimal dikasih oleh-oleh baju kaos atau topi sebagai bentuk penghargaan,” kata dia, dalam diskusi di Uwong Cafe, Nologaten, Sabtu (5/3/2016).
Cunding menjelaskan, pemberitahuan PHK ia terima melalui surat elektronik pada Desember 2015 lalu, tanpa ada alasan yang jelas. PHK juga dilakukan tanpa ada pemberian intensif atau pesangon.
Namun kekecewaan terbesarnya karena segala kerja keras selama 15 tahun di daerah konflik tidak dihargai oleh Tempo. Ia mengaku, rela meliput dengan risiko yang besar demi integritas sebagai seorang wartawan di Tempo. Loyalitasnya terhadap Tempo itu yang tidak dijadikan pertimbangan dalam PHK dirinya.
“Saya sangat menghormati Tempo, sebagai sebuah media yang memperjuangkan kemanusiaan. Liputan saya di daerah konflik mempertaruhkan nyawa. Saya meliput ilegal logging. Menyamar sebagai pekerja di perusahaan Malaysia yang dikawal oleh tentara. Kalau waktu itu ketahuan, saya mati di di tengah hutan,” ceritanya.
Selain itu, Cunding juga mengatakan, tidak pernah menyepakati Perjanjian Jual beli Berita atau PJB yang ditetapkan pada dirinya sejak 2008. Negosiasi antara Serikat Pekerja Koresponden Tempo (Sepak@t) yang mewakili dirinya dengan pihak Tempo menjadi buntu dan tanpa kesepakatan, membuat Dinding tidak menandatangi PJB.
“Namun selama negosiasi, saya masih menulis berita. Masih dapat penugasan. Masih ada target dengan penilaian A, B, atau C. Tidak ada yang berubah” ujarnya.
Ketua Sepak@t, Edi Faisol yang juga hadir pada diskusi mengatakan, apa yang terjadi pada Cunding dan koresponden di daerah, adalah bentuk kesewenangan-wenangan sebuah perusahaan media. Tempo, kata Edi, telah melanggar Undang-undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan tidak memberikan jaminan kerja, tunjangan, dan Jamsostek kepada korespondennya.
“Dalam UU Ketenagakerjaan, tenaga kontrak itu hanya boleh dua tahun dengan perpanjangan satu tahun. Setelah itu harus jadi karyawan tetap. Cunding ini sudah 15 tahun,” kata Edi.
Edi pun turut menyesal atas usaha Tempo dalam mengajak Cunding berdialog, namun mengabaikan Sepak@t sebagai serikat pekerjanya. Ia menginginkan sebuah perubahan sistem, yang tidak hanya berlaku pada Cunding, tapi juga kepada seluruh koresponden Tempo di daerah.
“Selalu kami tegaskan, posisi kami di sini bukan sebagai penentang. Tapi ingin agar tidak ada penindasan terhadap koresponden,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Rizky Fatahillah menyarankan, agar jangan berharap banyak terhadap Pengadilan Hukum Industri yang biasa menangani kasus perselisihan pekerja dengan perusahaan.
“Karena sifat hakimnya perdata. Kadang hakim mempertimbangkan kondisi perselisihan antara pekerja dengan perusahaan. Kalau sudah tidak harmonis, biasanya bungan kerjanya diputus oleh hakim di situ,” kata Rizky.
Rizky menyarankan agar Cunding dan Sepak@t lebih fokus membangun solidaritas antar koresponden Tempo. Konsolidasi antar koresponden perlu ditingkatkan.
” Berbicara persoalan buruh, seberapa keras pun teriak ke luar, tapi tidak ada ikatan solidaritas di dalam. Itu akan sulit, karena yang dilawan perusahaan,” ujar Rizky. (Ed-03)
Kontributor: Januardi