Logo Gafatar (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kepulangan para mantan pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) tak serta merta menghapus kegelisahan keluarga yang sebelumnya merasa kehilangan mereka.
Hal itu pula yang dialami Titin (bukan nama sebenarnya), orang tua dari salah satu pengikut eks Gafatar asal Jawa Tengah ini. Kepada kabarkota.com, Selasa (2/2/2016), Titin mengaku hingga kini pihaknya masih kesulitan untuk membangun kembali komunikasi dengan putranya, sekembalinya dari Kalimantan, baru-baru ini.
“Dia masih pendiam. Tapi sudah mulai bicara dengan adiknya. Dia juga masih kontak-kontakan melalui telp dengan teman-temannya (sesama eks Gafatar),” ungkap Titin sedih.
Putra Titin sebelumnya meninggalkan rumah dengan berpamitan kerja di luar kota sejak sekitar akhir tahun 2015 lalu. Namun, sebulan setelahnya, alumnus salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu menghilang tanpa bisa dikontak oleh keluarga, hingga pada akhirnya diketahui ia menjadi satu dari ribuan mantan pengikut Gafatar yang dipulangkan dari Mempawah, Kalimantan Barat.
Usai menjalani proses rehabilitasi di Asrama Haji Donohudan, Solo, Jawa Tengah selama beberapa hari, sang putra tercinta pun bisa kembali berkumpul dengan keluarganya.
Meski begitu, Titin menganggap, proses rehabilitasi terhadap mantan pengikut Gafatar terlalu singkat. “Semestinya rehabilitasi diperpanjang tiga bulan, dan ada kegiatan yang riil , seperti di pesantren,” harapnya.
Dihubungi terpisah, Guru Besar di Fakultas Psikologi UGM, Muhammad Nurohman Hadjam berpendapat, proses rehabilitasi bagi eks pengikut ormas terlarang itu semestinya integratif dan terpadu, serta terkoordinir dengan baik, sehingga tidak justru menimbulkan permasalahan baru.
Idealnya, sebut Nurohman, butuh waktu sedikitnya seminggu dengan 8 kali pertemuan intensif untuk merehabilitasi mental mereka, dari pengaruh ideologi yang umumnya telah tertanam selama bertahun-tahun.
“Pendekatan sebaiknya dilakukan secara individual karena mereka bisa jadi mempunyai rahasia,” sarannya.
Terlebih, sebagian dari mereka sudah merasa nyaman berada di Kalimantan dan sebenarnya enggan dipulangkan ke kampung halamannya. “Kalau tidak berhati-hati, justru akan kontra produktif,” ujar Nurohman.
Hal senada juga diungkapkan Novi Herdalina, Koordinator Forum Psikolog Sleman yang mensinyalir mereka tidak akan terbuka terkait masalah ideologi yang mereka anut, karena itu menyangkut masalah pandangan hidupnya.
“Mereka lebih membutuhkan tempat tinggal yang nyaman tanpa ada rasa kekhawatiran sebab, beberapa hari ini mereka sangat lelah karena harus berpindah-pindah tempat,” imbuhnya. (Rep-03/Ed-03)