BANGKOK (Kabarkota.com). Krisis politik di Thailand yang tak berkesudahan, akhirnya memancing tentara menerapkan darurat militer. Tentara menyatakan keadaan darurat militer, hanya dalam waktu dua pekan sejak Mahkamah Konstitusi negara itu memberhentikan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
Pengumuman tersebut praktis memberikan kekuatan tentara untuk mengambil keputusan lebih luas, termasuk mengambil alih stasiun televisi yang memiliki peran vital dalam kemelut politik.
Militer bersikukuh tindakan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap negara, dan bukan bukan kudeta.
“Darurat militer dilaksanakan untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban umum. Masyarakat tidak perlu panik,” demikian pengumuan dari juru bicara tentara.
Darurat militer dilaksanakan setelah krisis politik yang berlangsung sejak akhir tahun lalu. Ketegangan antara pemerintah dan oposisi meningkat selama beberapa bulan terakhir. Protes terhadap pemnerintah PM Yingluck dilakukan selama beberapa bulan.
Ketika PM Yingluck ditumbangkan, para pendukungnya gantian melakukan perlawanan.
Kepala penasihat keamanan bagi Perdana Menteri sementara, Paradorn Pattanatabut, mengatakan keputusan militer tidak pernah dikonsultasikan dengan pemerintah.
"Tetapi, semua normal kecuali masalah tanggung jawab militer untuk keamanan nasional," kata Pattanatabut.
Kudeta oleh militer di Thailand, sudah terjadi berkali-kali. Setidaknya militer telah melakukan kudeta di Thailand sebanyak 11 kali sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932. Pada 2006 adalah terakhir kali militer Thailand mengambil alih kekuasaan.
Akibat situasi politik yang tak menentu, ekonomi Thailand menurun. Badan perencanaan negara telah merevisi prediksi pertumbuhan tahun ini menjadi 1,5% hingga 2,5%.
Rajiv Biswas, kepala ekonom lembaga kajian ekonomi IHS, memperkirakan ekonomi Thailand hanya akan mencapai 1,9% tahun ini.
"Secara riil, ini berarti bahwa sekitar US$8 miliar-US$10 miliar dari potensi pertumbuhan ekonomi telah hilang pada tahun 2014."
Di kawasan Asia Tenggara, hanya Thailand yang mengalami kontraksi ekonomi. Malaysia mencatatkan pertumbuhan 6,1% pada kuartal pertama, sementara Indonesia tumbuh sekitar 5,2%. (aif/dikutip dar bbcnews)