Salah satu warga dari PMKP membawa poster terkait protes pertambangan pasir di Sungai Progo. (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Belasan warga Padukuhan Pundak Wetan, Kalurahan Kembang, Kapanewon Nanggulan, Kali Progo yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kulon Progo (PMKP) mendatangi Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, pada Rabu (14/9/2022).
Mereka datang dengan didampingi pihak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk mengadukan hasil temuan indikasi pelanggaran dalam praktik penambangan pasir dan batu oleh PT CMK di Sungai Progo.
Ketua PMKP, Sutrisno mengatakan, penambangan pasir dan batu (sirtu) yang dilakukan oleh PT CMK dengan alat berat telah berdampak buruk bagi warga sekitar lokasi. Termasuk warga yang sebelumnya melakukan penambangan pasir secara tradisional.
“Setelah ada penambangan pasir dan batu dengan alat berat itu, para penambang konvensional dari paguyuban kami berhenti total sehingga itu berdampak pada mata pencaharian kami,” ungkap Sutrisno kepada wartawan usai melakukan audiensi dengan pihak DLHK DIY dan instansi terkait.
Menurutnya, sebelum PT CMK beroperasi, ada sekitar 20 warga yang menjadi penambang pasir dan batu dengan peralatan tradisional. Dalam sehari, mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 25 ribu – Rp 50 ribu per orang, dengan hasil sekitar 4 kubik pasir per hari.
Selain itu, warga di sekitar lokasi merasa dirugikan, karena pemukiman mereka menjadi rawan longsor, dan krisis air bersih.
Untuk itu, PMKP mendesak agar pemerintah menghentikan operasional tambang sirtu dengan alat berat tersebut. Terlebih, PT CMK juga terindikasi melakukan pelanggaran dengan menempatkan alat berat lebih dari dua unit, serta melakukan proses pengayakan, padahal izinnya tambang pasir dan batu.
“Kami masyarakat tetap menolak,” tegas Sutrisno dalam forum audiensi.
DLHK DIY Sarankan Warga Ajukan Perubahan Wilayah Penambangan
Menanggapi desakan tersebut, Kepala Bidang Penaatan, Kajian dan Pengembangan Kapasitas Lingkungan Hidup, DLHK DIY, A. Ruruh Haryata justru menyarankan agar warga mengajukan permohonan perubahan Wilayah Pertambangan (WP) agar nantinya bisa ditutup.
Sedangkan terkait terjadinya longsor di sekitar lokasi pertambangan, Ruruh menegaskan bahwa pihaknya perlu verifikasi lapangan bersama tim pengawasan terpadu dari Dinas PU-ESDM untuk melihat kondisi riil di lapangan sebagai dasar pengambilan keputusan nantinya.
Kasi Pertambangan Mineral Dinas Pekerjaan Umum (PU) – Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) DIY – Puja Krismanto menambahkan, warga dapat mengajukan permohonan penutupan kawasan sebagai wilayah pertambangan yang nantinya akan diputuskan oleh Gubernur
Walhi Yogya: Pemerintah seharusnya Netral
Sementara Abimanyu dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta yang turut mendampingi warga, menyesalkan sikap pemerintah yang justru terkesan tidak netral dalam kasus ini. Padahal, niat warga justru ingin membantu pemerintah dalam melakukan pengawasan praktik pertambangan pasir, di tengah minimnya SDM yang dimiliki pemerintah.
“Laporan kami justru dibantah oleh dinas,” anggap Abimanyu.
Warga, lanjut Abimanyu, sudah menempuh berbagai upaya untuk memperjuangkan keadilan bagi warga terdampak, sejak tahun 2017.
“Tapi sampai saat ini belum ada kejelasan, ketika kami tanya masih dalam proses,” sesalnya. (rep-01)