Di Balik Kekerasan Berulang di Yogyakarta

Refleksi Dinamika dan Tantangan Kemajemukan di DIY 2015 – 2016, di Aula Kanwil Kemenag DIY, Senin (11/1/2016). (Sutriyati/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Meski Yogyakarta mendapatkan julukan sebagai The City of Tolerance, pada kenyataannya kekerasan atas nama agama masih kerap terjadi. Salah satunya dipicu oleh pendirian tempat ibadah utamanya oleh kelompok minoritas yang mendapatkan penolakan dari kelompok mayoritas.

Bacaan Lainnya

Kepala Kesbangpol DIY, Agung Supriyono dalam Refleksi Dinamika dan Tantangan Kemajemukan di DIY 2015 – 2016, menganggap, berulangnya kekerasan yang terjadi di Yogyakarta tak lepas dari adanya persoalan yang belum terselesaikan, serta munculnya persoalan baru lagi.

Karenanya Agung berpesan, agar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Kementerian Agama (Kemenag) benar-benar berhati-hati dalam memberikan izin pendirian rumah ibadah. Termasuk, melakukan pengawasan terhadap tempat bisnis yang kemudian dijadikan tempat peribadatan.

“Regulasi tentang SKB 2 Menteri 2008 itu sudah terlalu lama, kami sudah mengusulkan ke pemerintah pusat untuk diubah tetapi sampai sekarang belum ditindak-lanjuti,” kata Agung di aula kantor Kanwil Kemenag DIY, Senin (11/1/2016).

Pakar Hukum Islam dan Terorisme UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noerhaidi Hasan berpendapat, aparat penegak hukum semestinya bertindak sesuai dengan proporsi dan kewenangannya dalam mengatasi masalah kekerasan yang berulang tersebut. “Mereka tidak boleh bertindak parsial tetapi imparsial,” pintanya.

Ditambahkan Noerhaidi, konsep awal privatisasi kekerasan itu dari Amerika Latin yang negaranya mengalami permasalahan karena aktor-aktor penting Negara tak mampu menjalankan tugasnya, umumnya ketika Negara dalam kondisi lemah atau situasi transisional.

Sementara Tommy Apriando selaku Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengungkapkan, banyak jurnalis yang belum paham dalam melakukan peliputan tentang isu-isu kekerasan. “Di redaksi juga tak mudah untuk meyakinkan tulisan itu bisa dimuat,” sesalnya.

Meski begitu Tommy berharap, agar media tidak terjebak pada pihak-pihak yang berpotensi konflik. “Jurnalis punya peran untuk mendukung toleransi dengan mengangkat pemberitaan tentang toleransi atau tokoh-tokohnya,” ucap Tommy. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait