Ilustrasi (dok. Menpan)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sudah menjadi rahasia umum jika jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia terhitung gemuk, dengan angka yang tembus lebih dari 4 juta orang.
Data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) per Januari 2017 menyebut, total Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah 4.475.997, dengan komposisi Jabatan Fungsional Guru sebanyak 37,43 persen, dan Jabatan Fungsional Umum Administrasi sebesar 37,69 persen dari ASN yang masih aktif bekerja, baik di instansi pusat maupun daerah.
Idealnya, ketika jumlah ASN sebanyak itu, maka semestinya bisa “meringankan” kerja pemerintah, dengan indikator efektif dan efisien dalam pelayanan publik. Namun, dalam implementasinya, KemenPAN RB sendiri menilai bahwa tata kelola sektor publik di Indonesia masih terhitung rendah, jika dibandingkan Negara-negara ASEAN.
Merujuk pada laporan dari Global Competitiveness Report (2016-2017), sebagaimana yang dipaparkan oleh Tenaga Ahli Universitas Indonesia Center for Study of Governance and Administrative Reform (UI-CSGAR), Laode Rudita, dalam sebuah seminar di Yogyakarta, baru-?baru ini, peringkat daya saing Indonesia turun empat level, dari 37 ke 41. Posisi tersebut masih kalah jauh jika dibandingkan Thailand di peringkat 34, Malaysia di posisi 25, dan Singapura pada peringkat ke-2.
Masih menurut laporan tersebut, masalah birokrasi dan korupsi menjadi faktor utama penyebab kalahnya daya saing SDM Indonesia di antara Negara-negara lainnya.
Khusus ASN, Laode menyebut, PNS yang memiliki kompetensi dan potensi tinggi saat ini baru sekitar 11,5 persen. Sedangkan, 34,5 persen diantaranya berkompetensi dan potensinya rendah. Sehingga menjadi sangat wajar ketika ia berpandangan bahwa mengandalkan PNS saja tidak akan cukup untuk mendongkrak daya saing tersebut.
Berbicara mengenai kompetensi dan potensi ASN, salah seorang Pegawai Pemerintah dengan Kontrak Kerja (PPPK), Surya mengaku mempunyai pengalaman selama empat tahun terakhir.
Dalam rentang waktu tersebut, ia sedikit banyak bisa menilai, masih ada Pekerjaan Rumah (PR) besar yang harus diselesaikan menyangkut profesionalitas dan kesetaraan hak bagi ASN yang statusnya PPPK.
Bukan tanpa alasan, Surya menaruh harapan soal dua hal itu pada pemerintah. Pertama, menyangkut profesionalitas, budaya ‘ewuh pekewuh’ (sungkan) antara pimpinan yang lebih muda dengan bawahan yang usianya lebih tua, terkadang menjadikan seorang pimpinan tidak tegas untuk menegur bawahannya.
Kedua, terkait hak, dalam hal ini gaji dan tunjangan. Meskipun antara PNS dan PPPK sama-sama mendapatkan hak tersebut dari pemerintah, namun jika dinilai secara nominal, selisih angka yang diterima masing-masing berbeda jauh, padahal untuk tanggung jawab dan kedudukan yang setara. Ia mengambil contoh, jika jatah uang makan untuk PNS sebesar Rp 500 ribu per bulan, maka PPPK hanya menerima sekitar Rp 200 ribu per bulan.
Sementara, Kepala Bidang (Kabid) PPPK Kemenpan RB, Istyadi Insani mengamini bahwa transformasi mendasar untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, serta mendukung pencapain pembangunan saat ini mendesak dibutuhkan.
Salah satu upaya yang tengah dilakukan oleh kementerian adalah dengan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen PPPK. Hanya sayangnya, RPP yang telah diajukan tersebut dikembalikan ke Kementerian karena dinilai tidak bisa diterapkan ketika disahkan, sebelum adanya Peraturan Presiden (Perpres). (Rep-03/Ed-03)