YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengikuti tes “Wawasan Kebangsaan” pada Maret 2021. Tes ini merupakan persyaratan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Amnesty International menerima informasi bahwa ada sekitar 75 pegawai KPK yang dianggap tidak lulus tes tersebut dan karena itu akan diberhentikan. Salah satunya adalah penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Merespon hal tersebut, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu KH mengajak publik untuk kritis atas cara-cara Orde Baru jilid 2 yang secara sistemik mau melumpuhkan KPK.
“Cara melumpuhkan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga agenda busuk penyingkiran pegawai KPK yang selama ini berkinerja baik dalam agenda pemberantasan korupsi di KPK atas nama “tidak lulusan tes Wawasan Kebangsaan ataupun memunculkan isu jahat lama soal “ada taliban di KPK,” ungkap Wahyu kepada Kabarkota.com, Selasa malam (4/5/2021).
Karena itu Wahyu mengajak publik makin kritis pada upaya-upaya pihak oligarki yang merusak independensi KPK dan nyata-nyata dimulai dari revisi UU KPK.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, menegaskan, tes Wawasan Kebangsaan ini tidak boleh dijadikan dalih untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah.
Usman menyebut hal Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui “litsus atau penelitian khusus” atau “bersih lingkungan” yang diskriminatif.”
“Mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan. Ini jelas melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang,” kata Usman.
Menurut Usman, berdasarkan standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya, bukan ‘kemurnian’ ideologisnya.
Di masa lalu, Litsus menimbulkan masalah ideologis atas pendidikan dan menjauhkan banyak orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri akibat kriteria yang tidak jelas dan diterapkan secara tidak merata.
“Screening ideologis yang diduga dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan seperti ini sungguh merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di negara ini, dan sekaligus mengingatkan kita kembali kepada represi Orde Baru, saat ada Penelitian Khusus (Litsus) untuk mengucilkan orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia,” tambahnya. (Rep 01/ Ed 01)