Forum Group Discussion tentang Merajut Ke-Indonesia-an dalam Bingkai NKRI, di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Senin (21/11/2016). (Sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Aksi damai dari ratusan ribu umat Islam yang dipusatkan di Jakarta pada 4 November 2016 lalu, dianggap sebagai puncak akumulasi berbagai persoalan yang kompleks yang mendera bangsa ini.
Menurut anggota DPD RI, Afnan Hadikusumo, selain masalah penistaan agama yang diduga dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, hal itu juga tak lepas dari penegakan hukum dan implementasi Undang-undang Otonomi Daerah yang masih berasalah.
“Peristiwa tanggal 4 November lalu itu tidak semata soal penistaan agama, tetapi juga persoalan kekuasaan kepala daerah yang terlalu berlebihan sehingga seolah tak terjamah oleh hukum. Sehingga sekarang terjadi krisis ke-bhinneka-an,” kata Afnan dalam Forum Group Discussion tentang Merajut Ke-Indonesia-an dalam Bingkai NKRI, di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Senin (21/11/2016).
Dalam hal otonomi daerah, sebut Afnan, di satu sisi, undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDM) di wilayahnya masing-masing, serta otoritas penuh kepada kepala daerah. Namun di sisi lain juga membuka banyak persoalan, seperti bagi-bagi kekuasaan, dan pemasungan kreatifitas. Akibatnya, ada sekitar 342 kepala daerah yang akhirnya berurusan dengan persoalan hukum.
Langkah yang bisa ditempuh dalam memperkuat kebhinnekaan dan NKRI, kata Afnan, dengan mengembalikan otonomi daerah pada relnya. Selain juga penegakan hukum yang seharusnya konsisten dan tidak tebang pilih.
“Kepala daerah jangan dibebani dengan ongkos politik yang tinggi supaya bisa lebih mandiri dan bertanggung-jawab,” pinta senator dari Dapil DIY ini.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Andri Irawan juga berpendapat bahwa hukum harus menjadi panglima, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
“Kalau hukum hanya menjadi alat bagi segelintir orang ya tidak akan ada artinya,” anggap Andri.
Sementara, Jadul Maula dari Dewan Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY menambahkan, kebhinnekaan merupakan bagian dari karakter bangsa Indonesia. “Keyakinan berbeda-beda tetapi disatukan dengan hati, jiwa, dan rasa,” sebutnya.
Karenanya, Jadul beranggapan bahwa terjadinya konflik keagamaan sekarang ini akibat dari kedangkalan rasa dan otak-atik akal. “Kita punya sejarah tentang nilai-nilai yang dalam dan adiluhur tapi tidak termanifestasikan dalam sistem pendidikan dan sistem politik kita,” sesal Jadul. (Rep-03/Ed-03)