Dunia Akademik Dilanda Krisis Demokrasi

Diskusi bertajuk “lonceng kematian dunia akademik”, di panggung demokrasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (15/1/2016). (Januardi/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Krisis toleransi dan demokrasi kini tidak hanya terjadi di masyarakat umum. Wilayah akademik yang seharusnya menjadi tempat kajian keilmuan dan kebebasan berpendapat pun sudah mulai mengalami hal itu. 

Bacaan Lainnya

Arif dari Lingkar Studi Sosialis (LSS) mengatakan, krisis demokrasi yang marak di lingkungan akademik terjadi karena arah ideologi kapitalisme telah menjadi arah sistem di institusi pendidikan. 

Hal tersebut  membuat gerakan-gerakan perubahan di kampus ditekan semaksimal mungkin. Pihak birokrat sama sekali tidak membiarkan mahasiswanya untuk berpikir kritis karena akan mengganggu sistem yang telah ada. 

“Sistem Uang Kuliah Tunggal  dan percepatan waktu studi mahasiswa merupakan salah satu contoh nyata penekanan dari birokrat secara sistem,” anggap Arif dalam diskusi bertajuk “lonceng kematian dunia akademik”, di panggung demokrasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (15/1/2016).

Ditambahkan Arif,  sepanjang 2015 LSS mencatat, setidaknya terjadi 23 kali pemberangusan di kampus seluruh Indonesia. Pemberangusan itu utamanya menyangkut isu-isu sensitif, semisal tragedi 65,  Lesbi, Gay, Biseksusal, dan Transgender (LGBT), atau fasilitas dan biaya kuliah.

Sebagian besar pemberangusan justru dilakukan oleh pihak kampus sebesar 42 persen, aparat negara 28 persen, dan milisi sipil reaksioner intoleran 21 persen.

“Kasus pemberangusan yang terjadi beberapa waktu lalu misalnya kegiatan pemutaran fil “senyap” di sejumlah kampus, seperti UGM, UNY, ISI, dan UIN,” imbuhnya. 

Ketua Dema Fisipol UGM 2015, Umar Aziz menganggap, pihak universitas cenderung bermuka dua dalam menyikapi kasus-kasus pemerangusan yang terjadi. Di satu sisi mengatakan kebebasan berpikir, berpendapat, dan bertindak. Tapi di sisi lain menyalahkan semua pihak saat terjadi pemberangusan. 

Sementara Wakil rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Siti Ruhaini berdalih, ada regulasi yang mengatur kebebasan di dunia akademik, yakni pasal 18 dalam UU Human Rights Watch. Namun jika itu sudah menyangkut publik secara luas, diatur dalam pasal berikutnya yang menginstruksikan kegiatan bersifat relatif. 

“Kebebasan hanya dijamin selama segala kegiatan hanya dilakukan dan melibatkan civitas akademik semata,” ujarnya.(Ed-03)

Kontributor: Januardi

Pos terkait