Penandatanganan MoU antara pihak sekolah dengan SS 1973 di SMPN 1 Yogyakarta, pada 2 Mei 2023 (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kekerasan seksual menjadi salah satu bagian dari tiga dosa besar pendidikan. Namun di sisi lain, pendidikan seksual dan reproduksi di sekolah hingga kini masih sangat minim.
Hal tersebut yang mendorong sejumlah alumni SMP Negeri 1 Yogyakarta angkatan tahun 1973 atau Satria Siaga (SS) 1973 menggagas penandatanganan nota kesepakatan (MoU) dengan pihak sekolah untuk menggelaratau Program Pelatihan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bagi guru, orang tua, dan siswa di lingkungan sekolah tersebut.
“Karena kami tidak bisa sedekah dengan materi, maka saya dan tim angkatan 73 menyedekahkan program ini kepada sekolah sebagai bentuk komitmen. Kami yakin para siswa, guru, dan orang tua butuh ini,” kata Koordinator SS 1973, Budi Wahyuni, di SMP N 1 Yogyakarta, pada 2 Mei 2023.
Pihaknya menganggap, para siswa membutuhkan pendidikan tersebut, namun selama ini belum ada tempat les atau pun guru yang bisa mengajarkan pendidikan tersebut sehingga kebanyakan dari mereka mencari informasi dari internet dan berbagai platform media sosial yang belum tentu bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
“Kami tidak bisa membiarkan itu terjadi di tengah tingginya data stunting dan kekerasan seksual di dunia pendidikan, termasuk kehamilan tidak diinginkan di kalangan pelajar sehingga siswa sampa harus keluar dari sekolahnya,” tegas Koordinator Indonesia Women Center (IWC) Yayasan Hari Ibu Kowani ini.
Menurut mantan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan ini, pernikahan anak yang terjadi akibat dari kasus kehamilan tak diinginkan seringkali menjadi titik awal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal tersebut, sinkron dengan data Komnas Perempuan.
Pelatihan itu nantinya, sebut Budi, tidak hanya diberikan kepada para siswa saja, melainkan juga para guru dan Komite sekolah.
Di lain pihak, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Yogyakarta, Yosepha Niken Sasanti mengaku bahwa selama ini memang HKSR untuk remaja belum banyak diolah di sekolah karena berbagai keterbatasan, termasuk adanya pembatasan dari pemerintah.
“Kalau pun kami memberikan itu kepada anak-anak hanya di permukaan saja,” ungkapnya.
Padahal, pihaknya menilai, saat ini permasalahan yang dihadapi anak-anak di sekolah semakin kompleks. Ia mencontohkan, dengan adanya kebijakan zonasi, maka komposisi siswa di sekolahnya sangat berbeda dengan siswa di angkatan SS 1973. Sekarang, pihaknya harus menerima siswa yang terdekat dengan lokasi sekolah, tanpa seleksi.
Akibatnya, lanjut Niken, terjadi ketidaksinkronan antara hal yang didapat anak-anak di rumah dengan di lingkungan sekolahnya sehingga terkadang menimbulkan disorientasi.
Oleh karena itu, pihaknya berharap, nantinya pelatihan HKSR dimulai dari para guru, karena mereka yang berhadapan langsung dengan para siswa.
Sementara Sigit dari Perwakilan Komite Sekolah sekaligus orang tua siswa juga mengaku risih untuk menyampaikan pendidikan seksual dan reproduksi kepada anaknya, karena hal tersebut masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara vulgar.
“Saya yakin tidak semua orang tua mampu menjelaskan dengan baik,” ucapnya.
Salah satu siswa, Bening juga berpendapat bahwa edukasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi sangat penting, khususnya bagi para remaja seperti dirinya. Mengingat, selama ini para remaja hampir tidak pernah mendapatkan pengetahuan tersebut dari keluarga maupun sekolah.
Padahal, itu penting bagi remaja sebagai bekal untuk bersosialisasi, termasuk dalam menjalin relasi antarlawan jenis.
“Sejujurnya, orang tua tidak pernah memberi tahu tapi saya sendiri yang mencari tahu,” ucapnya. (Rep-01)