Ilustrasi dorongan untuk menuntaskan mafia minyak dan gas (Migas). (Sumber foto: merdeka.com)
SURAKARTA (kabarkota.com) – Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Bimo Rizky Samudro mengatakan bahwa mafia minyak dan gas (Migas) sudah ada sejak Presiden Suharto memimpin atau zaman orde baru. Sejak itu, Bimo menjelaskan, Presiden Suharto memaksimalkan betul PT Pertamina untuk melakukan pengelolaan sumber energi di Indonesia.
"Sejak itu pula pengelolaan tidak ada transparansi, bahkan sampai sekarang. Rakyat hanya tau harga minyak murah waktu itu," kata Bimo kepada kabarkota.com melalui sambungan telepon, Selasa (18/11). (Baca: Mulai 18 November, Pemerintah Naikkan BBM Subsidi Rp 2 Ribu per Liter)
Ia menduga, cara kerja para mafia Migas dengan melakukan ketidaktransparanan. Mulai dari berapa jumlah produksi; bagaimana prosesnya; berapa alokasi untuk premium, solar, dan lainnya; hingga apakah pemberian subsidi sudah tepat atau belum.
"Saya tidak bilang kalau orang di Pertamina semuanya mafia. Tentunya tidak semua," ujar alumnus Universitas Curtin, Australia, ini. (Baca: Partai Golkar Sesalkan Pemerintah Naikkan Harga BBM)
Untuk itu, Faisal Basri yang belum lama ini mendapatkan mandat memimpin pemberantasan mafia migas dari pemerintah, memiliki tugas cukup berat.
Menurut Bimo, langkah yang bisa Faisal lakukan yakni dengan melihat data riil pengelolaan Migas di Pertamina. Data riil itu harus mencakup seluruh nilai produksi, alokasi, ekspor, impor, distribusi, hingga sesuai tidaknya dengan harga pasar.
"Setelah itu bisa memberikan rekomendasi ke pemerintah atau KPK. Jika memang ada kejanggalan, harus ada bukti terlebih dahulu," ungkapnya.
AHMAD MUSTAQIM