Fatkhur menunjukkan print out postingan di akun Facebook miliknya yang dilaporkan ke Polda DIY oleh pemilik klinik Naroopet. (sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Fatkhurrohman, seorang pecinta kucing (cat lover) asal Yogyakarta berusaha untuk tegar, dengan melempar senyuman ketika kabarkota.com menghampirinya di teras Masjid kompleks Pengadilan Negeri (PN) Sleman, usai menjalani persidangan dengan agenda putusan sela.
Kenyataan pahit harus Fatkhur terima, ketika eksepsinya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan pencemaran nama baik ditolak oleh majelis hakim di PN Sleman, pada Senin (27/3/2017). Itu artinya, proses persidangannya yang telah ia jalani sejak 6 Maret 2017 akan berlanjut.
Fatkhur adalah salah satu korban penerapan pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Persoalan bermula ketika, pada 20 Februari 2016, Fatkhur mengunggah status disertai foto di akun Facebook miliknya. Dalam foto itu tergambar dua perempuan bernama Laili Choiriyah dan Sri Dewi Syamsuri, sedang mengobati Boy di Klinik Naroopet, Kalasan, Sleman.
Fatkhur merasa kecewa dengan pelayanan yang diberikan Naroopet ketika saran untuk memotong bulu mata kucing kesayangannya, Boy justru mengakibatkan kondisinya tambah parah dan akhirnya mati. Kekecewaan semakin bertambah, saat ia baru mengetahui ternyata Sri Dewi Syamsuri yang menangani Boy, ternyata bukanlah seorang dokter yang kompeten.
Namun, Sri Dewi Syamsuri selaku pemilik Klinik merasa tak terima dengan postingan Fathur itu sehingga pada 25 Februari 2016, melapor ke Polda DIY. Fathur pun dijerat dengan pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Buat saya ini pelajaran yang sangat berharga, khususnya buat para pemilik klinik di Yogya, harus lebih memperhatikan SOP mereka, kualitasnya juga. Jangan hanya mau ambil untungnya saja, tanpa nemperhatikan hewan-hewan yang masuk ke klinik tersebut,” kata Fatkhur.
Kuasa hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menganggap, ada kejanggalan dalam putusan sela tersebut.
“Hakim menilai Pengadilan Negeri Sleman berwenang mengadili perkara Fatkhur. Padahal perbuatan Fatkhur dilakukan di Bantul atau di wilayah Pengadilan Negeri Bantul. Artinya Pengadilan Negeri Bantul seharusnya berwenang mengadili perkara ini,” jelas Yogi.
Pihaknya menganggap, hakim yang menerapkan pasal 84 ayat 2 KUHAP, sebagai bahan pertimbangan penolakan eksepsi terdakwa tidak tepat. Sebab, di pasal 84 ayat 1 KUHAP jelas menyebutkan bahwa pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
Advokat LBH Yogyakarta, Emanuel Gobay menambahkan, pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah pasal karet yang berpotensi besar mengkriminalisasi kebebasan berekspresi yang dijamin dalam UUD 1945.
Memang Fatkhur hanyalah satu dari sekian banyak korban penerapan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebelumnya, Ervani Emi Handayani dari Bantul, yang juga korban UU ITE menyebutkan, berdasarkan catatan dari kepolisian, jumlah orang yang terjerat pasal tersebut hingga kini mencapai lebih dari 3 ribu orang.
Pada 9 Juli 2014 lalu, Ervani juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus pencemaran nama baik, karena mengunggah keluh kesah atas kejadian yang menimpa suaminya, saat bekerja di Jogja Jolie Jewellery. Ervani pun sempat ditahan di Rutan Wirogunan selama 20 hari. Namun pada 5 Januari 2015, PN Bantul memvonis bebas Ervani.
Pada Agustus 2014, giliran Florence Sihombing, seorang mahasiswa S2 UGM yang dilaporkan ke Polda DIY oleh sekelompok orang, atas tuduhan pencemaran nama baik, gara-gara unggahan status di media sosial, sebagai luapan kekesalannya atas pelayanan di SPBU Lempuyangan.
Pada 31 Maret 2015, PN Kota Yogyakarta menjatuhkan vonis untuk Florence, dengan dua bulan penjara dan percobaan enam bulan beserta denda Rp10 juta subsider satu bulan penjara. (Rep-03/Ed-03)