Era Revolusi Industri 4.0 dan Nasib Buruh di Tanah Air

Talkshow Ketenagakerjaan, di Yogyakarta, Sabtu (27/4/2019). (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Dunia telah memasuki era revolusi industri 4.0 yang diantaranya ditandai dengan digitalisasi, otomatisasi dan efisiensi.

Bacaan Lainnya

Di satu sisi, perkembangan jaman ini telah mengundang antusias masyarakat memanfaatkan teknologi untuk memudahkan keseharian mereka, termasuk dalam mengakses layanan barang dan jasa yang berbasis internet.

Namun di sisi lain, pengurus DPD KSPSI DIY, Irsyad Ade Irawan menganggap, era industri 4.0 juga memunculkan kepanikan, khususnya di kalangan sebagian buruh karena pekerjaan mereka terancam akan tergantikan oleh teknologi canggih berbasis digital.

Menurutnya, keuntungan era revolusi industri dari 1.0 hingga 4.0 justru lebih banyak dinikmati oleh para pemodal karena tak pernah hilang dari ciri khas kapitalisme, yakni, akumulasi modal, eksploitatif terhadap buruh, dan ekspansi bisnis-bisnis lain.

Sementara kerugian bagi buruh, “hingga kini belum perubahan ciri khas hubungan buruh dan industri yang cenderung mengeksploitasi mereka,” kata Irsyad dalam Talkshow Ketenagakerjaan, di Yogyakarta, Sabtu (27/4/2019).

Untuk itu, gerakan buruh perlu mendorong agar ada perubahan sistem, di mana buruh tak hanya sebagai pekerja, namun juga berkesempatan menjadi bagian dari pemilik modal, melalui sharing saham maupun sharing laba perusahaan.

“Keuntungan atau laba perusahaan harus ditransparansikan melalui teknologi untuk membantu penyusunan skema pengupahan bagi buruh nantinya,” tegas Koordinator Komite Aksi Mayday 2019 di Yogyakarta ini.

Pengurus DPP SPN, Haryono berpendapat bahwa perkembangan jaman ini harus tetap disikapi dengan optimisme oleh para buruh. Mengingat, ancaman tergesernya peran buruh oleh teknologi belum tentu bisa menggantikan peran buruh sepenuhnya.

“Kita harus optimis dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, karena dari dulu kita sudah ditakut-takuti tapi tidak terbukti,” ucapnya.

Sementara terkait pengupahan, pihaknya menganggap, konsep yang sejak dari jaman Orde Baru (Orba) hingga sekarang belum ditinjau ulang juga cenderung merugikan buruh.

Maka semestinya, kata Haryono, ada blue print tentang konsep pengupahan buruh yang melibatkan Negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup buruh. Mengingat, berbicara tentang buruh sama artinya dengan membicarakan tentang rakyat, sebab 3/5 dari usia produktif di Indonesia merupakan kaum buruh.

Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Nindry Sulistya Widiastiani menilai bahwa Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mengakomodir kebutuhan di era Revolusi Industri 4.0. (Rep-01)

Pos terkait