Ilustrasi (dok. usu)
JAKARTA (kabarkota.com) – Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa ( FAA PPMI) sesalkan Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu yang melarang publikasi cerita pendek (cerpen) “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Yael Stefany Sinaga di suarausu.co.
Ketua Umum FAA PPMI Agung Sedayu menganggap, tindakan tersebut merupakan bentuk pemberangusan kemerdekaan berekspresi mahasiswa. Terlebih, tindakan tersebut disertai dengan penutupan suarausu.co dan pencabutan status keanggotaaan seluruh awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU, pada 25 Maret 2019 lalu.
“Pemecatan terhadap seluruh awak redaksi Suara USU telah melanggar hak konstitusional para awak redaksi Suara USU dan masyarakat umum untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi,” kata Agung melalui siaran pers, Minggu (31/3/2019).
Menurutnya, pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Komunitas intelektual kampus serta segenap civitas akademika, lanjut Agung, sepatutnya menjadi garda depan dalam mengawal proses demokrasi, memastikan setiap intelektual kampus dan mahasiswa berproses secara kritis dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kepatuhan hukum.
“Kampus sebagai kawah candradimuka para calon pemimpin bangsa wajib memupuk watak kebangsaan dan nasionalisme bukan sebaliknya bertindak intoleran, membuat kebijakan yang sewenang-wenang sehingga memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat kritis mahasiswa,” tegasnya.
Sebelumnya, pihak kampus USU juga pernah mempersoalkan hasil liputan Lembag Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU yang mengkritisi kondisi kampus.
Ditambahkan Agung, sikap represif kampus terhadap pers mahasiswa tidak hanya di alami oleh LPM Suara USU. Berdasarkan catatan FAA PPMI sejumlah kasus serupa juga dialami oleh lembaga pers mahasiswa di berbagai kampus.
Tahun 2014, pihak kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merampas dan melarang peredaran Buletin Expedisi karya LPM Ekspresi yang berisi pemberitaan mengenai pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) yang dianggap bermasalah.
Pada 2015, LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga juga mengalami hal serupa. Majalah Lentera ditarik dan dilarang beredar oleh rektorat dan polisi lantaran laporan mereka tentang sejarah peristiwa 1965 di Salatiga.
Selanjutnya pada 2016, LPM Poros UAD Yogyakarta sempat dibekukan karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran di kampus tersebut. Di tahun yang sama, LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa juga dibekukan karena menerbitkan berita yang mengkritisi kampus.
Sementara berdasarkan riset yang dilakukan PPMI, sepanjang tahun 2013-2016 terdapat 133 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 kasus justru dilakukan oleh pihak birokrasi kampus berupa intimidasi, perampasan media, hingga penyegelan sekretariat.
Untuk itu FAA PPMI mendesak, agar Rektor USU segera mencabut surat keputusan pencabutan status keanggotaan seluruh awak redaksi Suara USU dan memberikan jaminan kemerdekaan berekspresi, berpendapat, dan menyampaikan informasi.
Selain itu, pihaknya juga berharap, seluruh perguruan tinggi di Indonesia dapat menghormati dan mendukung pemenuhan hak lembaga pers mahasiswa dalam mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi melalui karya jurnalistik. (Ed-01)