SLEMAN (kabarkota.com)- Karangan bunga bertuliskan duka cita, balon warna hitam, dan baju warna hitam bertuliskan “fight for justice 65%”, dijadikan tanda matinya demokrasi di Universitas Gajah Mada (UGM)(15/9/2016). Dalam aksi yang digelar di Balairung UGM, dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) menyatakan sikap menolak atas praktik anti-demokrasi dalam pemilihan dekan.
Aksi ini merupakan bentuk protes pemilihan dekan periode 2016-2021 UGM. Di mana dalam pemilihan dekan di FH UGM calon dekan yang mendapatkan dukungan terbesar di Fakultas yaitu, Prof. Dr. Sigit Riyanto dengan dukungan 8 dari 11 departemen di lingkungan FH UGM yang mengalahkan rivalnya Linda Yanti, Ph.D.
Dari 38 anggota senat terhitung 1 orang abstain, 25 orang (65%) memberikan nilai lebih tinggi pada Sigit, dan 12 sisanya memberikan nilai lebih tinggi pada Linda. Namun panitia seleksi (pansel) tingkat universitas membalik hasil penilaian, sehingga pendukung Sigit merasa ada proses demokrasi ini diciderai.
Dosen Hukum Lingkungan, Hari Supriyono yang tergabung dalam masa aksi menyampaikan bahwa ada permasalahan dalam pemilihan dekan. Kampus UGM menurutnya, diharapkan masyarakat luas terkait dengan masalah implementasi demokrasi.
“Kita tidak dalam posisi membela orang, tapi kita membela yang namanya demokrasi,” ungkapnya di depan masa aksi.
Hal senada disampaikan Dosen Hukum Perdata, Hasrul Halili. Ia mengungkapkan bahwa ini bukan soal menang atau kalah, tapi untuk manegakkan demokrasi di kampus yang mengatakan kampus rakyat. Menurutnya ada proses pengkerdilan terhadap aspirasi atau dukungan nyata.
“Ada 60 orang atau setara 65% yang mendukung Sigit Riyanto untuk nenjadi dekan FH.
Di mana-mana yang namanya demokrasi basisnya dukungan,” tegasnya.
Koordinator aksi dari mahasiswa, Abdul Adim menyampaikan dua tuntutan. Tuntutan pertama untuk transparansi nilai, karena menurutnya mahasiswa adalah pihak yang terkena dampak langsung. Kedua, ia menyampaikan peraturan rektor dalam pemulihan dekan, tidak diatur secara jelas antara Pansel di fakultas dan universitas. Ia meminta kegaduhan seperti ini untuk diminimalisir.
“Kita berada di jalan tengah tanpa afiliasi,” tegasnya.
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, Zainal Arifin Mokhtar
meminta agar rektor mendengarkan aspirasi fakultas, karena rektor adalah pemutus terakhir dalam hal ini. Ia berharap agar rektor berani mengambil keputusan yang penting.
“Yang namanya dekan adalah milik kita bersama dan kita bisa memilih yang terbaik untuk kita. Jangan menaruh dekan boneka yang elitis dan menekan ke bawah,” pungkasnya. (Rep-04/Ed-01)