Ilustrasi (liputan6.com)
JAKARTA (kabarkota.com) – Meski pun gempa besar yang terjadi di perairan kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu (2/3/2016) malam tak menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan, namun sempat mengundang kepanikan warga hingga kemacetan lalu-lintas. Hal itu terjadi karena umumnya masyarakat setempat melakukan evakuasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dari berbagai penjuru arah.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menganggap, adanya epanikan masyarakat dan kemacetan lalu lintas di masyarakat saat evakuasi adalah sesuatu yang wajar.
“Saat kejadian gempa 8,5 SR yang berpotesi tsunami pada 1 April 2012 lalu, juga terjadi kepanikan dan kemacetan lalu lintas,” kata Sutopo melalui laman BNPB, Kamis (3/3/2016).
Namun begitu, pihaknya menilai bahwa mekanisme rantai peringatan dini tsunami yaitu peringatan dini dari Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di BMKG yang diteruskan ke BNPB, BPBD, TNI, Polri, media massa dan masyarakat sudah berlangsung cukup baik.
Hanya saja, perilaku masyarakat dalam melakukan evakuasi sangat dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, dan pendidikan dan latihan yang dimiliki.
“Masih terdapat masyarakat yang merasa perlu mendapatkan kepastian gejala tsunami dengan pergi ke pesisir untuk melihat air surut. Hal ini mungkin terkait dengan materi pendidikan mengenai gejala tsunami yang menyebabkan persepsi perlu memastikan gejala tsunami ini sebelum melakukan evakuasi,” ungkapnya.
Kepercayaan masyarakat terhadap bangunan evakuasi vertikal, menurut Sutopo masih sangat rendah. Dalam beberapa kasus di Padang dan Banda Aceh masyarakat cenderung melakukan evakuasi horisontal dengan menuju dataran tinggi yang lokasinya lebih jauh, bahkan mencapai 1.5 km dibandingkan menggunakan bangunan evakuasi vertikal yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya.
Ditambahkan Sutopo, berdasarkan penelitian yang dilakukan Unsyiah dan JICA pada tahun 2012 terhadap perilaku masyarakat melakukan evakuasi tsunami saat menerima peringatan dini tsunami,
63 persen masyarakat tidak mendengar adanya peringatan dari sirine tsunami karena jumlah peralatannya yang terbatas.
“Saat ini hanya sekitar 50-an sirine tsunami BMKG dan sekitar 200-an sirine tsunami berbasis komunitas yang dibangun untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Masih jauh dari kebutuhan yang ada yang mencapai ratusan ribu,” ujarnya.
Sementara, 75 persen masyarakat yang evakuasi menggunakan kendaraan bermotor. Inilah yang menyebabkan kemacetan karena sebagian besar masyarakat evakuasi secara bersamaan dan menuju lokasi yang hampir sama yaitu ke tempat yang lebih aman. Akibatnya, 78 persen pengungsi terjebak dalam kemacetan sekitar 20 menit.
Masih dari penelitian tersebut, 71 persen belum pernah ikut dalam latihan bencana. Latihan atau geladi penanggulangan bencana masih terbatas. Tidak semua masyarakat yang tinggal di daerah bencana bersedia ikut latihan. Anggaran untuk pelatihan bencana sangat terbatas, bahkan banyak yang tidak dialokasikan di APBD.
Karenanya, pemerintah bersama stakeholders akan melanjutkan program yang tertuang dalam Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami, dengan penguatan rantai peringatan dini tsunami, pembangunan dan pengembangan tempat evakuasi sementara (shelter), penguatan kapasitas kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, dan pembangunan intrumentasi kebencanaan nasional. (Rep-03/Ed-03)