Diskusi Gerakan Perempuan di Magister Administrasi Publik UGM, Selasa (15/3/2016). (Januardi/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com)-) Pasca runtuhnya Orde Baru (Orba), gerakan perempuan mulai diberi kesempatan untuk kembali eksis dalam wacana kebijakan maupun akademik. Ada banyak komunitas, organisasi, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh. Wacana gender pun mulai akrab di masyarakat.
Namun kelompok-kelompok tersebut cenderung berdiri sendiri dan tidak mampu untuk berbaur satu sama lain. Sehingga gerakan perempuan tidak mampu lagi hadir di masyarakat seperti sebelum Orba.
Hal itu dikemukakan oleh aktivis gerakan Perempuan, Mahardhika Vivi Widyawati, dalam sebuah diskusi Gerakan Perempuan di Magister Administrasi Public UGM, Selasa (15/3/2016).
Vivi mengatakan, saat ini gerakan perempuan tidak ada yang berbasis massa. Sangat sulit sekali menyatukan semua komunitas perempuan dalam sebuah gerakan yang berbasis massa.
“Coba sekarang apa ada kongres perempuan seperti yang pernah ada sebelum Orba? Padahal, untuk melakukan perubahan itu tidak bisa sendiri. Harus ada mobilisasi massa yang kuat,” ujar dia.
Vivi mengatakan, masih ada banyak tugas gerakan perempuan di Indonesia. Karena kekerasan terhadap perempuan tidak menurun, tapi justru cenderung meningkat.
“Gerakan perempuan juga tidak langsung mendapat dukungan dari organisasi progresif dan demokrasi. Setiap mau mengajukan wacana perempuan, selalu ada anggapan, Nanti dulu, Perempuan nanti dulu. Padahal kekerasan perempuan itu sering sekali sepaket dengan penindasan lainnya,” katanya.
Selain itu, Vivi juga mengkritik gerakan perempuan yang tidak ingin masuk ke dalan organisasi berbasis massa lainnya. Ia memandang sangat perlu sebuah gerakan perempuan untuk turut serta dalan perjuangan buruh atau tani. Agar isu gender juga bisa masuk ke gerakan-gerakan tersebut.
“Sekarang itu kita sering membahas kepentingan sendiri. Tidak mau masuk ke gerakan lainnya. Coba misalnya gerakan tani, bagaimana ibu-ibu berjuang di sana,” ucapnya.
(Ed-03)
Kontributor: Januardi