Ilustrasi (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Sejak pertama kali Gerakan #2019GantiPresiden didengungkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Madani Ali Sera, deklarasi mendukung gerakan tersebut digelar di sejumlah daerah. Hanya saja, ada sebagian pihak yang kontra sehingga berusaha menghalangi terlaksananya deklarasi atau apapun kegiatan yang mengarah ke gerakan itu.
Pada 25 Agustus 2018, salah satu aktivis gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman dihadang kelompok Organisasi Masyarakat (Ormas), saat tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau. Kedatangan artis era 1980-an ke Pekan Baru ini dihadang massa karena akan menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden. Di waktu yang sama, seniman perempuan, Ratna Sarumpaet yang menghadiri kegiatan terkait #2019GantiPresiden di Pangkal Pinang, Bangka Belitung juga ditolak, hingga akhirnya acaranya pun turut dibubarkan.
Sehari setelahnya, musisi, Ahmad Dhani yang berencana menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden di kota asalnya, Surabaya, pun tak lepas dari “kepungan” massa saat berada di hotel Majapahit, tempatnya menginap.
Di Yogyakarta, gerakan #2019GantiPresiden juga sempat digelar secara damai. Tanggal 23 April 2018, Aksi damai yang diinisiasi Komunitas Pemuda Sayang Indonesia, digelar di Bundaran UGM. Kemudian, tanggal 3 Juni 2018, ratusan orang juga menghadiri acara 2019 Ganti Presiden di Yogyakarta. Meski sempat mundur dari rencana awal tanggal 1 Juni 2018, namun akhirnya acara berjalan “adem ayem”.
Di masa-masa jelang Pilpres 2019 seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin gerakan #2019GantiPresiden akan semakin gencar meski di tengah banyaknya penolakan dari kubu “lawan” yang juga mendengungkan gerakan #2019tetapJokowi. Pertanyaanya, secara hukum, gerakan #2019GantiPresiden itu sebenarnya sah atau tidak? Dan Apa yang semestinya dilakukan untuk mencegah benturan konflik antarkedua kubu, jika nantinya aksi tersebut kembali digelar, khususnya di Yogyakarta?
Gerakan #2019GantiPresiden, Bagian dari Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni’matul Huda, pernah menjelasakan kepada kabarkota.com bahwa gerakan itu bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi.
“Ya tidak masalah. Itu ekspresi menjelang Pemilu 2019,” anggapnya, 5 Agustus 2018.
Ni’ma menilai, gerakan #2019GantiPresiden itu bagian dari kampanye kelompok masyarakat yang ingin ada pergantian presiden. Sementara di kelompok masyarakat lain, ada juga yang masih menginginkan incumbent naik lagi jadi presiden, dengan mendengunkan gerakan #2019tetapJokowi.
“Sepanjang ekspresinya secara damai dan tidak anarkhis itu boleh. Yang menghalangi berarti tidak faham demokrasi,” tegasnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Bagus Sarwono, selaku pihak penyelenggara Pemilu, juga beranggapan bahwa gerakan itu bagian dari hak untuk menyampaikan kebebasan berpendapat, sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar Undang-undang (UU).
Hanya saja, pihaknya menyatakan, “gerakan #2019GantiPresiden atau tagar sebaliknya tersebut belum menjasi domain kami. Itu masih menjadi ranah kepolisian”.
Karenanya, Bagus berharap, aparat keamanan memberikan perlakuan yang sama, antara pihak yang pro dan kontra. “Itu tantangan aparat keamanan sekarang,” sebut mantan komisioner Lembaga Ombudsman DIY ini kepada kabarkota.com, Senin (27/8/2018)
Senada dengan Bagus, Komisioner Bawaslu DIY Divisi Penindakan Pelanggaran, Sri Rahayu Werdiningsih menjelaskan, dilihat dari sisi regulasi Pemilu, belum ada aturan yang dilanggar, khususnya dari gerakan #2019GantiPresiden. Mengingat, saat ini belum ada penetapan pasangan calon presiden & wakil presiden.
Menurutnya masyarakat perlu memahami bahwa Pemilu itu memang sebuah mekanisme yang sah untuk penggantian kepemimpinan. “Jika kemudian impact dari itu ada bentrokan, misalnya, maka menjadi tugas aparat keamanan untuk menjaga dan menertibkan,” sebutnya.
Polisi Diminta Netral
Sementara Kepala Divisi Humas Jogja Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba berharap, kepolisian bisa netral dalam menangani aksi massa dari gerakan kedua kubu.
“Kepolisian sebagai aparat hukum harus bersifat netral. Jika aksi dukung-mendukung dengan jumlah massa yang banyak tidak ada izinnya, ya harus ditindak,” kata Bahar. Mengingat, tugas dan wewenang aparat kepolisian adalah memberikan rasa aman dan nyaman kepada siapapun. Termasuk, guna menghindari bentrok massa antarkedua kubu, maka polisi berhak membubarkan kedua massa.
Pihaknya mencontohkan, ketika ada aksi dukungan masyarakat terhadap Jokowi dua periode adem-ayem saja, tidak ada protes dan aparat polisi tidak perlu mengerahkan jumlah banyak. Namun, ketika ada gerakan #2019GantiPresiden dan aksi penolakan, polisi sudah dengan singgap mengerahkan personil dengan jumlah yang banyak, karena khawatir ada bentrokkan massa dari kedua kubu. “Itu sudah menjadi tugas polisi,” ujarnya.
Sementara dihubungi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda DIY, Yulianto mengaku, pihaknya tak bisa berandai-andai terkait kemungkinan adanya kembali gerakan #2019GantiPresiden di Yogyakarta.
“Setiap situasi beda penanganan. Tidak bisa disamakan, kita lihat saja ada atau tidak (gerakan #2019GantiPresiden),” kata mantan Kapolres Sleman ini. (Sutriyati)