Ilustrasi (dok.kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Guru adalah Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Ungkapan ini sangat awam terdengar di masyarakat. Istilah itu cukup untuk menggambarkan bahwa guru sebagai tenaga pendidik generasi bangsa, adalah para pejuang di dunia pendidikan yang selayaknya mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya. Tapi faktanya, perjuangan mereka seakan tak mendapatkan penghargaan yang sepantasnya, bahkan oleh Negara. Utamanya itu dialami oleh para guru yang belum berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau mereka yang akrab disebut sebagai Guru honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT).
Sri Yantini adalah guru salah satu Taman Kanak-kanak (TK) di wilayah Moyudan, Sleman yang telah mengabdi selama 15 tahun terakhir, sebagai tenaga guru honorer. Meskipun statusnya kini sebagai Pegawai Tetap Yayasan (PTY), serta memegang jabatan Kepala Sekolah di TK, namun “imbalan materi” atas pengabdiannya sebagai pengajar itu sangat jauh dari layak.
Dalam sebulan, ibu dua putra ini hanya menerima honor Rp 250 ribu dari yayasan. Ditambah dengan insentif dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman sebesar Rp 325 ribu per bulan. Insentif itu pun baru bisa “dicairkan” tiga bulan sekali. Angka yang sangat kecil, apalagi dibandingkan dengan penghasilan para guru yang sudah berstatus PNS, dengan beban kerja yang sama.
“Kalau dulu sempat dapat tunjangan fungsional dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten. Tapi sekarang tinggal insetif dari Sleman,” jelasnya kepada kabarkota.com, Selasa (25/9/2018).
Namun begitu, bagi perempuan 48 tahun ini, menjadi guru untuk anak-anak usia dini memberi kebahagiaan tersendiri. Sebab, selain memang cita-citanya sejak dulu, menurutnya, anak-anak bisa menjadi penghibur, meski terkadang ada sebagian dari mereka yang “rewel” di kelas.
Disinggung tentang rencana pemerintah yang akan memberikan hak setara PNS bagi para guru honorer yang usianya di atas 35 tahun, Yantini tak berharap banyak. Pasalnya, dirinya tak termasuk sebagai tenaga honorer Kategori Dua (K II). Hanya saja, dengan bekal ijazah S1 yang sebentar lagi akan dikantongi, ia berencana mengikuti sertifikasi yang ujungnya untuk peningkatan kesejahteraan guru, meskipun tanpa menyandang status PNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
“Saya berharap, bisa mendapatkan honor minimal setara UMR sehingga bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga,” ucapnya. Terlebih dalam kondisi seperti sekarang, di mana suaminya tak lagi bisa bekerja sekuat dulu, karena sakit yang dideritanya sejak dua tahun terakhir.
Pemerintah siapkan Solusi untuk Guru Honorer K II yang tak diangkat PNS
Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Syafruddin mengatakan, pihaknya akan memberikan solusi, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), di luar perekrutan melalui jalur seleksi CPNS.
“Itu akan dilakukan setelah ujian CPNS selesai, manakala ada yang tidak tertampung dalam ujian tidak lulus istilahnya maka dapat mengikuti P3K,” kata Syafruddin, dilansir dari laman Setkab, 21 September 2018.
Dijelas Syafruddin, Tenaga Honorer KII yang tidak bisa mengikusi seleksi CPNS karena persyaratannya, terutama usianya sudah melewati 35 tahun, masih bisa mengikuti seleksi P3K.
Senada dengan itu, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana juga menyatakan, pihaknya bersama Presiden dan sejumlah menteri telah melakukan rapat internal guna membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai manajemen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau P3K itu.
Adapun terhadap Tenaga Honorer KII yang tidak bisa diterima dalam jabatan P3K, lanjut Kepala BKN, pemerintah juga akan menyampaikan skema berikutnya untuk memberikan kesejahteraan yang memadai. Mengingat, sekarang ini banyak guru honorer yang dibayar di bawah Upah Minimum Regional (UMR), yang tentu tidak manusiawi karena untuk masyarakat umum saja ada batasan UMR.
“Jadi guru-guru ini juga harus diberikan penghasilan yang setara dengan sesuai dengan UMR di masing-masing daerah,” ujarnya.
Status P3K Dianggap tak Cukup Kuat bagi Guru Honorer
Berbeda dengan harapan Yantini, dan tawaran solusi dari pemerintah, Salah satu guru honorer K II di Sleman, Suryanto justru berpendapat bahwa status P3K yang ditawarkan pemerintah sejak lama itu tak memberikan jaminan perlindungan yang cukup kuat bagi tenaga pendidik sepertinya.
Belajar dari pengalaman, Suryanto mengungkapkan, tenaga P3K selain tak akan mendapatkan jaminan pensiun, juga bisa setiap saat “tergeser”, ketika ada peraturan pemerintah yang memprioritaskan tenaga guru berstatus PNS nantinya.
Ia mecontohkan dirinya sendiri yang sebenarnya K II olah raga kini digeser menjadi guru kelas di salah SD Negeri wilayah Gamping, Sleman, dengan dalih kekurangan guru ketika itu.
Selama mengabdi sebagai guru SD, pria 50 tahun ini mengaku mendapatkan bayaran Rp 450 ribu per bulan, ditambah insentif dari Pemkab sebesar Rp 1 juta per bulan yang dibagikan per triwulan.
Bapak dua anak ini sangat berharap, pemerintah bisa mengakomodir aspirasi tenaga honorer K II, dengan mengangkat mereka sebagai PNS, dan tak sekedar P3K. Terlebih, biaya yang akan dikeluarkan Negara untuk perekrutan CPNS dari tenaga honorer K II lebih kecil, jika dibandingkan dengan perekrutan tenaga baru. (sutriyati)