Hadiri Sidang UPR di PBB, OHANA Dorong Indonesia meratifikasi OP Konvensi Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Perkumpulan Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Indonesia mendorong pemerintah Republik Indonesia (RI) meratifikasi Optional Protocol (OP) Conventions on the Rights of Persons with Disabilities (CRDP) atau protokol opsional Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak penyandang disabilitas.

Bacaan Lainnya

Dorongan tersebut disampaikan sebagai respon atas rekomendasi dari Universal Periodic Review (UPR) di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Jenewa, Swiss.

Perwakilan dari Perkumpulan OHANA, Suryatiningsih Budi Lestari mengungkapkan, selama ini penanganan kasus-kasus hukum para penyandang disabilitas belum terselesaikan secara tuntas.

“Aparat penegak hukum belum memiliki perspektif disabilitas sehingga penanganannya sering tidak tuntas,” sesal Suryatiningsih saat dihubungi kabarkota.com, pada 10 November 2022.

Oleh karena itu, menurutnya, ratifikasi OP CRPD ini akan sangat mendukung reformasi kebijakan dan perubahan yurisprudensi tentang hukum dan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap hak penyandang disabilitas. Termasuk, KUH Pidana maupun KUH Perdata yang masih mempersoalkan kapasitas Hukum atau legal capacity dari penyandang disabilitas intelektual dan psiko-sosial sebagai kelompok yang berada di bawah pengampuan.

CRPD merupakan konvensi mengenai hak penyandang disabilitas yang diadopsi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada general assembly, tanggal 13 Desember 2006 dan mendapatkan status legal penuh pada bulan Mei 2008.

Di Indonesia, payung hukum terhadap perlindungan hak penyandang disabilitas ini disahkan pada 18 Oktober 2011, melalui Sidang Paripurna DPR Komisi VIII yang sepakat mengesahkan CRPD menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Namun demikina, Pihaknya berpendapat bahwa UU tersebut belum cukup kuat untuk memberikan perlindungan bagi para penyandang disabilitas, khususnya dalam pelaporan negara oleh warga negaranya.

“OP CRPD itu lebih kuat karena secara individual, penyandang disabilitas bisa melaporkan negara ke PBB,” sambungnya.

Hanya saja, ia menilai, pemerintah Indonesia masih khawatir jika warga negaranya bisa langsung berkomunikasi dengan komite PBB sehingga protokol opsional tersebut tidak kunjung diratifikasi.

“Sebenarnya sekarang, kami secara kolaborasi juga sudah membuat laporan langsung ke PBB,” sambungnya.

Suryatiningsih yang turut menghadiri sidang UPR di Dewan Keamanan PBB tersebut menambahkan, penghormatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas juga ditekankan oleh banyak negara selama sidang UPR 2022, agar mereka mendapatkan pengakuan serta perlindungan dan pemenuhan hak yang setara dengan masyarakat sipil lainnya.

“Isu penting lainnya adalah panti rehabilitasi yang sempat disinggung dan menjadi perhatian karena bertentangan dengan pasal 19 CRPD. PBB mendorong agar semua negara mendukung promosi dan pelaksanaan kehidupan yang Mandiri dan bebas panti secara bertahap,” paparnya.

Pendekatan yang berbasis belas kasihan dan medis masih saja dilakukan oleh negara dan berbagai institusinya, sebut dia, harus terus dieliminasi agar penyandang disabilitas mendapatkan haknya yang setara dan dijamin oleh negara.

Sementara Founder OHANA Indonesia, Risnawati Utami berpandangan bahwa sebenarnya koalisi masyarakat sipil bisa mendorong agar Indonesia meratifikasi OP CRPD.

“Beberapa tahun lalu, Komnas HAM Indonesia juga sudah membuat kertas kebijakan (policy paper) tentang Indonesia agar bisa mendukung rativikasi OP CRPD,” tuturnya dalam konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil, di Yogyakarta.

Kertas kebijakan Komnas HAM itu, menurutnya bisa di-advokasi bersama agar dipertimbangkan oleh pemerintah supaya mengajukan proses ratifikasi ke sekretariat CRPD di kantor PBB di Jenewa

“Ini memang membutuhkan kerja keras guna mendorong pemerintah Indonesia agar meratifikasi Optional Protocol,” tegas Risna.

Risna meyakini, OP CRPD akan bisa memberikan law reform dalam segala bentuk isu HAM di Indonesia.

“Kebetulan saya menjadi bagian dalam komite CRPD dari Indonesia yang ikut dalam proses ketika kami melakukan individual complain dari negara yang sudah meratifikasi OP,” ucapnya lagi.

Berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS, 2020), proporsi penyandang disabilitas tertinggi ada pada penduduk dewasa, yakni usia 18 – 59 tahun (22 persen). Selanjutnya disabilitas pada lansia (3.8 persen), dan disabilitas anak (3.3 persen).

DIY menjadi provinsi dengan persentase penyandang disabilitas tertinggi ketiga di Indonesia (33.2 persen) setelah Sulawesi Tengah (40.6 persen) dan Sulawesi Selatan (33.6 persen). (Rep-01)

Pos terkait